REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin didakwa menerima uang suap Rp 7 miliar dari pengusaha terkait program optimalisasi proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara.
"Terdakwa Musa Zainuddin yaitu Anggota DPR periode 2014-2019 bersama-sama dengan Amran Hi Mustary selaku Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara menerima hadiah uang sejumlah Rp 7 miliar dari Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama agar mengusulkan program prioritas dalam proyek pembangunan infrastruktur Jalan Taniwel-Saleman dan rekonstruksi Jalan Piru-Saisala di BPJN IX Maluku dan Maluku Utara," kata jaksa penuntut umum KPK Wawan Yunarwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/7).
Untuk merealisasikan alokasi program aspirasi anggota Komisi V DPR, Amran menginformasikan ke Abdul Khoir dan Hong Arta John Alfred mengenai keperluan dana untuk anggota Komisi V. Pada September 2015 di hotel Grand Mahakam Jakarta, Musa diperkenalkan kepada Abdl Khoir oleh AMran dan Musa menyampaikan bahwa dirinya adalah ketua kelompok fraksi (Kapoksi) dari PKB di Komisi V menggantikan Mohamad Toha.
"Terdakwa juga menyampaikan mempunyai dana tambahan seluruhnya sebesar Rp 500 miliar terdiri atas Rp 200 juta dana optimalisasi serta tambahan dana aspirasi sebesar Rp 160 miliar dengan Rp 140 miliar akan dialokasikan ke Maluku dan Maluku Utara," kata jaksa Wawan.
Beberapa hari kemudian, Musa, Abdul Khoir dan Amran menyepakati program Musa akan dikerjakan Abdul Khoir dan So Kok Seng alias Aseng yang meliputi proyek pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp56 miliar akan dikerjakan SO Kok Seng dan rekonstruksi Piru-Waisala Maluku senilai Rp 52 miliar diberikan Abdul Khoir. Abdul Khoir akan memberikan delapan persen fee dari nilai proyek jalan Taniwel-Saleman sebear Rp 4,48 miliar dan proiyek rekonstruksi Piru-Waisala Maluku sebesar Rp 3,52 miliar.
Musa pun pada 13 Oktober 2015 meminta Kepala Biro Perencanaan Anggaran dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian PUPR Ayi Hasanudin agar semua usulan apsirasi harus melalui Musa. Pada 21 Oktober Musa menyerahkan 2 map usulan kepad Ayi, map pertama berisi usulan program aspirasi pembangunan jalan Laimu-Werinama senilai Rp 50 miliar dan map kedua pembangunan jalan tol Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar dan rekonstruksi Priu-Waisala sejumlah Rp 52 miliar dengan mengatasnamakan Jazilul Fawaid dan kembali dipastikan usulan itu masuk pada 27 Oktober 2015.
Untuk memenuhi kewajiban fee delapan persen, Aseng mentransfer uang Rp 3,5 miliar pada 9 November 2015 dan Rp 980 juta pada 16 November 2015. Sedangkan anak buah Abdul Khoir bernama Erwantoro juga menyerahkan kepada orang kepercayaan Musa bernama Jailani sejumlah Rp 3,8 miliar dalam bentuk dolar Singapura di parkiran Blok M Square pada 16 November 2015.
Erwantoro kembali menyerahkan Rp 3 miliar dalam bentuk dolar Singapura kepada Jailani pada 17 November 2015 di kantor PT Windhu Tunggal Utama. Sisa fee diberikan kepada Jailani pada 28 Desember 2015 di food hall mal Senayan City sebesar Rp 1,2 miliar dalm bentuk pecahan dolar Singapura melalui Erwantoro.
"Pada akhir Desember 2015, di rumah jabatan terdakwa di blok Kalibata Jakarta Selatan, Jailani menemui terdakwa untuk menanyakan kapan uang fee program usulan terdakwa akan diserahkan kepada terdakwa. Untuk memudahkan penerimaan fee, terdakwa memperkenalkan Mutakin selaku staf administrasi terdakwa kepada Jailani dan meminta Mutakin dan Jailani untuk bertukar nomor handphone, selanjutnya terdakwa mengatakan kepada Mutakni dan Jailani 'kalian kontak-kontakan ya'," jelas jaksa Wawan.
Beberapa hari kemudian, Jailani menyerahkan Rp 7 miliar campuran rupiah dan dolar Singpaura dari Abdul Khoir kepada Mutakin dalam dua tas ransel hitam lalu Mutakin kembali ke rumah jabatan Musan dan meletakkan dua ransel itu dalam kamar tidur Musa. "Setelah terdaka kembali ke rumah, teradkwa memanggil Mutakin dan terdakwa menunjuk dua tas ransel hitam sambil mengatakan 'ini ya' kemudian Mutakin menjawab 'ya'," kata jakwa Wawan.
Perbuatan Musa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Musa mengajukan nota keberatan (eksepsi). "Kami akan mengajukan eksepsi," kata pengacara Musa, Haryo Budi Wibowo. Sidang dilanjutkan pada 19 Juli 2017.