Jumat 14 Jul 2017 10:25 WIB

Tjahjo: Masa Mau Kembali ke UU Pemilu yang Lama?

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kedua kiri) berbincang dengan Pimpinan Pansus RUU Pemilu Yandri Susanto (kiri), Lukman Edy (kedua kanan) dan Ahmad Riza Patria (kanan) sebelum rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/7).
Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kedua kiri) berbincang dengan Pimpinan Pansus RUU Pemilu Yandri Susanto (kiri), Lukman Edy (kedua kanan) dan Ahmad Riza Patria (kanan) sebelum rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah mengapresiasi semangat fraksi-fraksi di DPR RI dalam mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. "Sejak awal pembahasan, fraksi-fraksi di DPR RI mengutamakan musyawarah mufakat," kata Tjahjo Kumolo di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (13/7) malam.

Menurut Tjahjo, sikap pemerintah adalah aturan yang sudah berjalan baik dalam RUU Pemilu agar dipertahankan. Sedangkan, aturan yang belum baik agar ditingkatkan.

Tjahjo menegaskan, emerintah juga memiliki semangat untuk menggunakan UU Pemilu yang baru pada pelaksanaan pemilu tahun 2019. "Masak mau kembali ke UU Pemilu yang lama," katanya.

Tjahjo mengakui, pembahasan RUU Pemilu berlangsung alot hingga muncul insiden ketegangan, karena ada salah satu anggota pansus sampai menggebrak meja. Menurut dia, meskipun sampai terjadi perdebatan keras, tapi niatnya adalah untuk membangun kebersamaan dan mencapai kesepakatan.

Pada kesempatan tersebut, Tjahjo menegaskan, sikap pemerintah tegas memilih opsi paket A dari lima opsi paket lima isu krusial yang disiapkan Pansus RUU Pemilu untuk dibahas bersama pemerintah. "Pemerintah memilih paket A karena syarat presidential threshold 20-25 persen sudah teruji dalam dua kali pemilu sebelumnya, berjalan baik," katanya.

Tjahjo berharap, fraksi-fraksi di DPR dapat menyetujui sikap pemerintah. Pemerintah, kata dia, juga menyadari syarat parliamentary threshold yakni ambang batas partai politik berada di parlemen, akan lebih baik jika dinaikkan sedikit dari 3,5 persen menjadi 4 persen. "Pemerintah mengapresiasi kelegawaan fraksi-fraksi yang dapat menyetujui syarat 'parliamentary threshold' dari usulan yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah menjadi empat persen," katanya.

Soal sistem pemilu, menurut Tjahjo, pemerintah yang semula mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas, tapi dapat menerima usulan sistem pemilu proporsional terbuka. Soal sebaran kursi parlemen di daerah pemilihan, menurut dia, sikap Pemerintah sama dengan aturan di UU Pemilu sebelumnya, yakni 3-10 untuk kursi DPR RI serta 3-12 untuk kursi DPRD.

Terhadap, usulan metode konversi suara, kata dia, pemerintah memilih metode sainte lague murni dan meninggalkan metode quota hare. Menurut Tjahjo dengan metode siante lague murni, adalah jumlah perolehan suara dapat dihitung secara adil yakni berbanding lurus dengan perolehan kursi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement