REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) mempertanyakan pemerintah tidak membuka ruang dialog dengan semua pihak sebelum menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Ketiadaan dialog membuat pemerintah hanya mendengar aspirasi dari satu pihak.
Pengacara GNPF-MUI Kapitra Ampera pun mengingatkan Presiden Joko Widodo pernah menyatakan akan membuka ruang dialog dengan kelompok Islam ketika kedua pihak bertemu pada Hari Raya Idul Fitri lalu. "Ayolah, dialog. Presiden bilang mau dialog, tapi kok tiba-tiba Perppu keluar sih," kata Kapitra mengutarakan kekecewannya ketika dihubungi Republika, Jumat (14/7) pagi.
Kapitra mengatakan dialog dengan para tokoh organisasi menjadi hal penting dalam penerbitan Perppu tentang Ormas. Dialog akan menghilangkan kesan pemerintah represif.
"Buka ruang dialog. Jadi sekat-sekat bangsa itu bisa diurai, tidak represif. Karena menentukan Perppu ini, kesannya represif," kata Kapitra.
Kapitra menambahkan pemerintah harus mendengar aspirasi seluruh rakyat. "Jangan hanya sekelompok orang yang mudah dipengaruhi, lalu digeneralisasi," kata dia memaparkan.
Menurut dia, saat ini masyarakat sudah kembali tenang dan damai setelah Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pilkada DKI berlangsung cukup sengit sedangkan kasus penistaan agama sempat membuat gaduh.
Kapitra mengatakan pemerintah seharusnya tidak kembali membuat rusuh dengan menerbitkan Perppu tentang Ormas tanpa dialog dengan semua kelompok Islam. Tanpa adanya dialog, dia menambahkan, Perppu ini seolah menyerang umat Islam.
Padahal, dia menambahkan, para pejuang Islam pernah ikut ambil peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. "Jangan sampai nanti Islam tidak mau lagi ikut memilih, kan nanti akan jadi sejarah, janganlah seperti ini. Malah akan meninggalkan noda di masyarakat, jadi sejarah hitam," kata dia.
Selain ruang dialog, Kapitra menilai pemerintah terlalu terburu-buru menerbitkan perppu ini. Sebab, dia menyatakan, tidak ada penjelasan situasi genting yang memaksa Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu.
Perppu itu tidak menerangkan dengan jelas definisi situasi genting yang dimaksud. "Apakah genting yang benar-benar gaduh seperti 1998, detilnya diperlukan pemerintah untuk disebutkan," ujar Kapitra.