REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah ini dilansir dari Arab News. Cerita seorang mualaf yang menemukan jalan Islam setelah keterpurukan. Namun, dalam cerita ini tidak disebutkan tentang jatidiri mualaf yang bersangkutan. Ini cerita dia yang bisa menjadi inspirasi bagi umat lain.
Saya tumbuh di keluarga yang tidak berfungsi seperti keluarga. Atmosfir keseharian saya dipenuhi alkohol, penganiayaan baik fisik maupun mental. Pelakunya ayah saya sendiri.
Ini membuat saya tumbuh jadi anak yang anti sosial dan sering kali terlibat kekerasan. Di usia 13 tahun, saya bergabung dengan anak-anak yang senasib. Tapi ini membuat saya bosan. Hingga saya mulai berganti pergaulan.
Saya masuk ke komunitas anak-anak muda yang salah. Alkohol, obat-obatan, aksi kriminal, kekerasan hingga rasism jadi keseharian. Periode keluar masuk penjara remaja dimulai sejak saat itu.
Lingkungan ini membentuk Saya jadi orang ahli dalam aksi kriminal. Usia 16 tahun saya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara di California Youth Authority karena merampok, penyerangan, dan penggunaan senjata.
Menjalani kehidupan seperti ini membuat saya dipenuhi kebencian pada komunitas. Terutama mereka yang tidak 'sama' dengan saya. Saya akhirnya masuk geng supremasi kulit putih. Saya bahkan terlibat KKK (kelompok supremasi kulit putih).
Itu berlangsung selama 3-4 tahun. Saya aktif di geng, sering muncul di media karena aksi kriminal, pemukulan massal, perusakan properti dan lainnya. Di usia 20 tahun, saya kembali dikurung di penjara.
Di lantai yang dingin hanya beralas matras, saya mulai sering tertegun. Pikiran bahwa saya lelah menjalani kehidupan seperti ini terus membayangi. Kehidupan yang mengantarkan saya pada maut kapan saja.
Hidup yang tidak tenang dan penuh dengan ancaman. Saya mulai merunut kembali kehidupan yang selama ini saya jalani. Kehidupan seperti ini tidak akan ada habisnya atau tidak akan membawa kebaikan pada siapa pun. Semua orang takut pada saya.
Apalagi saat itu, putri saya lahir. Untuk pertama kalinya saya merasa ingin mencintai dan dicintai dengan tulus. Saya tidak ingin ada kata benci lagi. Saya pun bertekad mulai mencari sesuatu yang lain, kedamaian.
Perjalanan baru itu saya mulai dengan ikut organisasi kemanusiaan, CHERE (Children Escaping Racist Environments). Tapi seakan sudah mendarah daging, saya masih melakukan aksi kriminal. Saya dipenjara lagi karena memiliki bahan peledak.
Di penjara, saya bertemu seorang penjaga, seorang Afrika-Amerika dan ia seorang Muslim. Kami berkenalan karena ia menyediakan keperluan selama di penjara. Tingkah lakunya, dan apa yang ia percaya membuat saya tertarik.
Ia pun memberikan sejumlah bacaan soal Islam. Perkenalan pertama dengan Islam ini membuat saya terkejut. Tapi, semakin haus dan ingin terus mendalami. Saya merasa menemukan kemurnian dan kenyataan di dalamnya.
Saudara Muslim saya ini kemudian mulai mengajak saya mendalami agamanya. Ia mengajak shalat Jumat dan memberikan Alquran yang saya baca habis terjemahannya. Saya merasa buku itu sedang menceritakan kebenaran hidup pada saya.
Saat azan berkumandang, saya merasa lebih dekat dengan Tuhan. Merasa berada di jalan yang benar, saya terus meneliti dan mempelajari Alquran. Saya adalah orang yang logis dan Islam masuk dalam pemikiran saya dengan mudahnya.
Islam memberikan kejelasan, untuk apa hidup dari awal sampai akhir. Tujuan saya jelas dan arahnya lurus. Islam mengajarkan saya kerendahan hati dan arti sesungguhnya dari menyembah Tuhan.
Sejak saat itu saya yakin bahwa kita datang dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Saya pun memeluk Islam, membaca syahadat dengan benar-benar menyadari arti dari kalimat-kalimat kesaksian itu.