REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama lima jam Ketua DPR RI, Setya Novanto menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus pengadaan KTP-Elektronik (KTP-el). Setnov diperiksa untuk tersangka pengusaha Andi Agustinus Andi Narogong (AA).
Mengenakan batik cokelat lengan panjang, Setnov keluar dari Gedung Merah Putih KPK didampingi Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. Namun, tidak sesuai dengan janjinya saat baru datang yang akan memberikan keterangan usai pemeriksaan, Setnov keluar dari Gedung Merah Putih dengan melemparkan senyum dan irit bicara.
"Sama yang kayak di dalam fakta persidangan sidang," ujar Setnov singkat di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (14/7).
Usai memberikan pernyataan tersebut, Setnov langsung menaiki mobil Fortuner hitam dengan nomor polisi B 1732 ZLO miliknya. Sama seperti Setnov, Idrus juga enggan berkomentar terkait pemeriksaan tersebut.
Sebelumnya, KPK dijadwalkan memanggil Setya Novanto pada Jumat (7/7), namun yang bersangkutan berhalangan hadir karena sakit. Setya Novanto juga sudah pernah dua kali diperiksa yaitu pada 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017.
Pada dua pemeriksaan itu, dia menjadi saksi untuk dua orang yang saat ini sudah menjadi terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Nama Setya Novanto juga disebut dalam surat tuntutan Irman dan Sugiharto, yaitu ketika Andi Agustinus alias Andi Narogong menawarkan kepada Irman dan Sugiharto untuk bertemu dengan Setnov demi kelancaran proyek KTP-el.
Sejauh ini, terdakwa dalam kasus itu adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Miryam S Haryani pada Kamis (13/7) didakwa melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.