REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramainya opsi lima isu krusial RUU Pemilu, muncul berbagai pertanyaan juga terkait kuota hare dan sainte lague. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), memaparkan secara jelas, apa dua istilah itu dan seperti apa kriterianya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan, dalam sistem Pemilu proposional, diperkenalkan dua rumpun metode penghitungan suara: kuota dan divisor. Pada rumpun metode penghitungan kuota terdapat dua teknik penghitungan suara yakni kuota hare dan kuota droop.
"Kuota hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang sudah tidak asing di Indonesia, karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu. Lalu ada dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan kuota hare," katanya, Jumat (14/7) siang.
Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus v (vote) : s (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan, dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi.
Untuk mengetahui secara lebih spesifik bagaimana masing-masing teknik penghitungan suara bekerja, dikatakan Titi, perlu dilakukan simulasi penghitungan ulang perolehan suara partai politik hasil perolehan suara pada Pemilu 2014 menggunakan lima metode konversi suara menjadi kursi: kuota hare, kuota drop, divisor d’hond, divisor sainte lague dan divisor sainte lague modifikasi.
"Metode penghitungan suara merupakan variabel utama dari sistem pemilu yang bertugas untuk mengkonversi suara menjadi kursi. Metode penghitungan suara paling tidak berpengaruh pada tiga hal, derajat proporsionalitas suara, jumlah perolehan kursi partai politik, dan sistem kepartaian," jelasnya.
Sehingga, lebih lanjut Titi memaparkan, meski terkesan sangat teknis matematis, pilihan terhadap metode penghitungan suara menjadi arena keberlangsungan hidup partai politik dalam negara demokrasi.