REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan teroris kerap menggunakan aplikasi Telegram untuk berkomunikasi. Itulah yang melatarbelakangi permintaannya kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) untuk menutup akses masyarakat ke aplikasi Telegram.
"Fitur Telegram memiliki banyak keunggulan, di antaranya mampu menampung sampai 10.000 member dan percakapan dienkripsi, artinya sulit dideteksi. Ini jadi problem dan jadi tempat saluran komunikasi paling favorit oleh kelompok teroris," ujar Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Monas, Jakarta Pusat, Ahad (16/7).
Tito memberi contoh kasus-kasus terorisme yang terjadi selama ini. Mulai dari bom Thamrin, bom Kampung Melayu, dan penusukan polisi di Falatehan, tersangka teroris di Bandung ternyata para pelakunya merupakan pengguna aplikasi Telegram.
"Salah satunya mempersulit gerakan mereka adalah menutup Telegram. Nanti kita lihat apakah jaringan teror menggunakan saluran komunikasi lain. Kami juga ingin lihat dampaknya. Saya kira ini akan terus dievaluasi," kata Tito.
Kemkominfo pada Jumat (14/7) telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik situs aplikasi percakapan Telegram.
"Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, gambar yang mengganggu, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia," demikian siaran pers Kemenkominfo, Jumat