REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram pada 14 Juli 2017.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Ahmad Hanafi Rais mengatakan setelah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan, sebenarnya pemerintah punya tugas untuk membuat seperti apa tata kelola konten yang positif.
"Ini tidak pernah ada pembahasannya. Kalau tiba-tiba main blokir, itu pun juga terbatas pada browser, padahal terorisme bekerja mobile-based, maka langkah ini juga tidak efektif," kata Hanafi Rais kepada Republika.co.id, Sabtu (16/7) malam.
Kementerian Kominfo beralasan pemblokiran Telegram dilakukan karena ada banyak sekali kanal di layanan tersebut yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, gambar yang mengganggu, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hanafi menyatakan pengguna Telegram mayoritas bukan teroris, tapi dosen, mahasiswa, komunitas pengusaha, komunitas agama, komunitas kreatif, dan sebagainya. Menurut dia, pemblokiran ini berpotensi merugikan kelompok pengguna lain yang memanfaatkan Telegram untuk keperluan positif.
"Sebaiknya pemerintah tempuh langkah hukum saja kalau memang menganggap Telegram tidak comply dengan peraturan perundangan RI. Jadi keputusannya bisa dipertanggungjawabkan," ujar Hanafi.