REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Komunikasi Digital Anthony Leong mengatakan langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir Telegram merupakan sebuah langkah kemunduran. Anthony menganggap pemblokiran mencerminkan pemerintah gagal paham dalam mencerna persoalan.
"Jika memang ada keluhan soal konten, pemerintah bisa langsung menyurati Telegram, tapi nyatanya sampai sekarang CEO Telegram mengklaim belum menerima permintaan resmi dari Indonesia," kata Anthony, Ahad (16/7).
Anthony menjelaskan, akan ada banyak kerugian yang dialami masyarakat jika Telegram dan aplikasi media sosial lainnya ditutup. Apalagi, media sosial tersebut digunakan oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, mulai dari kalangan pebisnis hingga pelaku usaha kecil dan menengah.
"Jika Telegram diblokir maka akses mereka untuk melakukan usaha mengalami sedikit hambatan," ungkap Anthony.
Menurut Anthony, ancaman Kemenkominfo untuk menutup sejumlah media sosial memang mengkhawatirkan. Pemerintah terkesan 'memaksa' perusahaan media sosial untuk mendirikan kantor cabang mereka di Indonesia.
"Ancaman Kemenkominfo menutup media sosial jika tidak membuka kantor di Indonesia merupakan ancaman yang kurang relevan," ujarnya.
Baca juga: DPR: Pemblokiran Telegram Harus Jadi Jalan Terakhir
Pemerintah Indonesia terhitung mulai Jumat (14/07) resmi memblokir Telegram dengan alasan layanan percakapan instan itu dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan standard operating procedure (SOP) dalam penanganan kasus terorisme.
Dalam keterangan resminya, Kemenkominfo mengatakan pihaknya telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram.
"Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia," jelas Kemenkominfo.
Menurut CEO Telegram, Pavel Durov, melalui akun Twitter-nya @durov mengatakan pemblokiran tersebut aneh karena pihaknya belum menerima pemberitahuan dari pemerintah Indonesia.
"Itu aneh. Kami belum pernah menerima permintaan atau keluhan dari pemerintah Indonesia. Kami akan menyelidikinya dan mengumumkan hasilnya," kata Durov menjawab pertanyaan pemilik akun @auliafauziahr.