REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan tingginya disparitas harga beras antara produsen atau petani dengan konsumen menjadi masalah besar karena pedagang perantara yang menikmati keuntungan hingga Rp 186 triliun.
"Ini yang menjadi masalah saat ini karena pedagang perantara yang mendapat keuntungan lebih besar dan membuat harga beras di tingkat pengecer juga tinggi," kata Ketua KPPU RI Syarkawi Rauf di Makassar, Ahad (16/7).
Ia menyebut harga beras pada tingkat petani dijual seharga Rp 7.500 per kilogram. Sedangkan harga beras yang dijual di masyarakat harganya sebesar Rp 10.500 per kilogram (kg).
Syarkawi mengaku, selisih harga beras di tingkat petani dan masyarakat cukup besar, yakni Rp 3.000 dan nilai selisih ini yang menjadi fokus dari KPPU untuk dipangkas agar masyarakat membeli beras dengan harga lebih murah.
"Ini yang menjadi fokus kita karena ada selisih harga yang cukup besar antara petani dengan masyarakat. Nilainya cukup besar Rp 3.000 dan ini yang akan kita pangkas," ujarnya.
Keuntungan Rp 186 triliun yang didapatkan oleh para pedagang perantara itu didapatkan dari nilai konversi dengan total produksi padi dalam kurun waktu setahun.
Secara detil, Syarwaki menjelaskan, produksi padi dalam setahun sebanyak 79-80 juta ton yang kemudian dikonversi menjadi beras sekitar 40 juta ton dikalikan dengan selisih harga sebesar Rp 3.000 itu.
"Benefit yang diperoleh orang tengah mencapai Rp186 triliun memang terlampau besar. Padahal petani kita hanya menikmati kurang dari Rp 100 triliun. Begitu pula dengan pedagang pada 'end user' yang keuntungannya tidak sebesar orang tengah itu," katanya.
Syarkawi mengaku, pihaknya sedang mencari formulasi terbaik untuk mengendalikan harga beras di bawah angka Rp10.500 per kilogramnya atau sebesar Rp9.000 per kg.
"Pedagang tengah ini sudah lama menikmati keuntungan yang besar. Kita akan berupaya memangkas itu dan menstabilkan harga beras di bawah Rp10 ribu," ata dosen Fakultas Ekonomi Unhas Makassar itu.