REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka ketimpangan yang diformulasikan dalam gini rasio dengan rentang skor 0-1. Semakin tinggi nilainya, maka ketimpangan ekonomi semakin tinggi pula.
BPS mengukur nilai ketimpangan ini berdasarkan pengeluaran penduduk, bukan pendapatan. Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, nilai gini ratio pada Maret 2017 sebesar 0,393. Angka ini sebetulnya nyaris tak ada perubahan bila dibandingkan dengan capaian pada September 2016 lalu sebesar 0,394.
"Hampir stagnan, ketimpangan keluar nyaris tidak alami perubahan. Satu hal jadi catatan, upaya menurunkan ketimpangan tidak mudah karena membutuhkan roadmap jangka panjang," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Senin (17/7).
BPS juga menyebutkan, gini ratio di perkotaan pada Maret 2017 tercatat sebesar 0,407, turun dibanding gini ratio pada September 2016 sebesar 0,409 dan gini ratio Maret 2016 sebelumnya sebesar 0,410. Sementara untuk perdesaan, gini ratio pada Maret 2017 sebesar 0,320, naik dibanding gini ratio pada September 2016 lalu sebesar 0,316, namun turun dibanding gini ratio Maret 2016 sebesar 0,327.
Suhariyanto menyebutkan, pada Maret 2017 lalu distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah sebesar 17,12 persen. Artinya, lanjutnya, pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.
Jika dirinci menurut wilayah, distribusi pengeluaran untuk 40 persen terbawah di daerah perkotaan mencapai 16,04 persen yang artinya berada di katgeori ketimpangan sedang. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,36 persen yang berarrti masuk dalam kategori ketimpangan rendah.
Selain itu, Suhariyanto juga menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan di kota memang lebih tinggi dibanding tingkat ketimpangan di desa lantaran jarak antara masyarakat bawah dan atas di kota jauh lebih besar dibanding kondisi yang sama di perdesaan.