REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Eko Susilo Hadi divonis empat tahun tiga bulan penjara, denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan karena menerima suap Rp2,3 miliar.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Eko Susilo Hadi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer," kata ketua majelis hakim Yohanes Priana di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (17/7).
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar Eko divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri atas Yohanes Priyana, Ibnu Basuki Widodo, Diah Sisi Basariah, Sofialid dan Sigit Herman Binaji juta tidak mengabulkan permintaan Eko sebagai pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).
"Permintaan terdakwa sebagai 'justice collaborator' ternyata sampai proses penuntutan tidak ada tindak lanjutnya maka dalam kaitan permintaan tersebut majelis hakim telah dipertimbangkan lebih lanjut sehingga permintaan itu tidak dapat diterima," kata hakim Sofialdi.
Eko menurut hakim terbukti menerima 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia.
Penerimaan uang yang dilakukan Eko berawal dari arahan atasannya yakni Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla yang menyampaikan adanya jatah 15 persen dari nilai kontrak pengadaan satelit monitoring yang dimenangkan PT Melati Technofo Indonesia dan dari jatah 15 persen tereszbut sebesar 7,5 persen akan diberikan kepada pihak Bakamla.
Penyampaian Arie tersebut terjadi pada Oktober 2016 saat Eko dipanggil ke ruangan Arie selanjutnya Eko memanggil Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Bambang Udoyo untuk memanggil PT Melati Technofo Indonesia selaku pemenang pengadaan monitoring satelit untuk menghadap.
Pada 9 November 2016, bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang kepercayaan Fahmi yaitu M Adami Okta agar datang ke kantor Bakamla. Saat itu Eko menanyakan "fee" sebesar 7,5 persen dari nilai kontrak karena PT Melati Technofo Indonesia telah dimenangkan dalam pengadan "satellite monitoring", Adami lalu mengatakan akan memberikan 2 persen lebih dulu.
Eko melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Ari Soedewo kemudian Ari Soedewo memberikan arahan agar membagikan kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang Udoyo masing-masing sebesar Rp1 miliar sedangkan sebesar Rp2 miliar untuk Eko.
Pada 11 November 2016, Adami kembali bertemu dengan Eko dan mengingatkan untuk memberikan 2 persen dari total 7,5 persen. Selain itu Eko meminta uang operasional sebesar 5 ribu dolar AS dan 5 ribu euro, namun Adami menawarkan jumlah lebih besar yaitu 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro, dan Eko menyetujuinya.
Pada 14 November, Adami datang ke kantor Bakamla untuk menyerahkan uang sejumlah 10 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar euro berikut kertas catatan kecil mengenai perincian pengeluaran uang sebagai bagian 7,5 persen jatah Bakamla, uang itu diterima sendiri oleh Eko.
Selanjutnya pada 14-20 November 2016 saat Eko meninjau pabrik Rohde and Schawarz di Jerman bersama Adami dan Hardy Stefanus yang bekerja sebagai marketing/opreasional PT Merial Esa.
Eko mengingatkan "fee" untuk Bakamla agar diserahkan sepulan dari Jerman yaitu untuk Eko Rp2 miliar dan untuk Bambang dan Nofel masing-masing Rp1 miliar.
Uang lalu diberikan pada 14 Desember 2016 oleh Adami dan Hardy di kantor Eko. Pada pertemuan itu Eko menerima penyerahan uang dari Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus sebesar 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS dalam amplop cokelat tidak lama, petugas KPK melakukan penangkapan.
"Sehingga unsur menerima hadiah terpenuhi dalam diri terdakwa," ujarnya.
Eko kemudian mengembalikan uang 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro sedangkan uang senilai 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS disita KPK saat Operasi Tangkap Tangan. Terhadap putusan itu, Eko Susilo langsung menerima vonis.
"Hasil konsultasi dengan penasihat hukum dan pendirian saya sendiri, saya menerima putusan yang dibacakan," kata Eko.
Sedangan jaksa penuntut umum KPK masih melakukan pikir-pikir selama 7 hari. Terkait perkara ini, Adami dan Hardy sudah divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan sedangkan Fahmi divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.