REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengungkapkan warga negara Indonesia (WNI) yang tadinya bergabung dengan gerakan ISIS akan mengikuti program deradikalisasi di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur.
"(WNI) yang pulang kita identifikasi, masukkan ke Bambu Apus, kami berikan program deradikalisasi, kami serahkan ke ulama, psikolog anak dan lain-lain untuk mengurangi radikalismenya," kata Suhardi di lingkungan Istana Presiden Jakarta, Senin (17/7).
Setelah itu, dia menerangkan, mereka akan dikembalikan ke masing-masing daerah. "Di situ kita minta pemerintah daerah untuk proaktif menjemput supaya kita tahu persis orang-orang ini kembalinya ke mana, bergaulnya sama siapa," kata dia.
Akhir pekan lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menerima laporan keberadaan 17 WNI yang semula telah bergabung dengan ISIS hampir dua tahun namun telah kabur. Kemenlu pun memerintahkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Damaskus, Suriah, untuk memantau, menganalisis, dan mengevakuasi 17 WNI itu dari kamp pengungsian.
"Namun, kami tidak bisa jamin satu bulan di Bambu Apus kembali seperti biasa tidak radikal, itu pekerjaan besar kita," kata Suhardi.
Kemenlu dan BNPT menurut Suhardi terus berkodinasi mengenai proses tersebut karena daerah asal para WNI itu bukanlah daerah yang steril. "Kami komunikasikan dulu. Mereka sih minta pulang karena sedikit banyak yang kita dapat kabar, bahwa merasa dibohongi dengan iming-iming janji. Ini testimoninya kita butuhkan, ternyata juga banyak janji-janji yang tidak sesuai harapan," kata Suhardi menambahkan.
Suhardi mengakui pemerintah dalam kondisi dilema karena WNI tersebut sudah terpapar paham radikalisme. "Memang dilema untuk kita karena mereka di sana sudah terpapar radikalisme, termasuk anaknya, itu jadi pekerjaan kita, dan sekarang UU Terorirsme belum ada mengatur hal itu, di luar negeri mungkin bisa langsung masuk tapi kita kan belum bisa seperti itu," kata Suhardi.
Suhardi berharap, revisi UU Terorisme dapat memuat aturan mengenai orang-orang yang bergabung ke kegiatan terorisme dapat kehilangan kewarganegaraannya (stateless). "Nanti kita bahas apakah ada semacam usulan apakah dibuat stateless, itu kan opsi-opsi yang ada atau ada kemungkinan proses verifikasi investigasi. Kalau di luar negeri, ada beberapa negara yang main tahan saja, kita kan tidak boleh juga seperti itu," kata Suhardi.