REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Sukron Abdillah
Sepeninggal pamannya, Abu Thalib, dan istri tercintanya, Khadijah RA, Rasulullah SAW diliputi dukacita mendalam. Tahun itu disebut dengan tahun dukacita (ammul huzni). Kondisi tersebut membuat gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin keras, kasar, dan meneror tanpa henti.
Dalam kesedihan yang melumuri hati Rasulullah karena dakwahnya tidak diterima oleh kaum Quraisy, beliau memutuskan keluar dari Kota Makkah menuju Thaif bersama Zaid Ibn Haritsah. Beliau SAW berharap penduduk Thaif mau mendengarkan dan menerima seruan Islam.
Namun, harapannya ternyata tidak membuahkan hasil. Penduduk Thaif menolak seruan dan ajakannya, bahkan mencaci maki, memperlakukan Rasulullah SAW dengan laku kebencian, dan menghardiknya. Tentu saja, sebagai manusia biasa, Rasulullah teramat sedih, kecewa, dan terluka jiwanya. Dengan memendam rasa kecewa, beliau pun bergegas kembali Makkah dalam kondisi sedih, sempit, susah, dan menderita.
Beberapa tahun berlalu, curahan kesedihannya akibat perlakuan penduduk Thaif ia katakan kepada istrinya, Aisyah RA, pada saat umat Islam dikalahkan pada Perang Uhud oleh pihak musuh. "Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat 'Aqabah; saat aku menawarkan diri kepada Ibnu Abdi Yalil Ibn Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa'alib, lalu aku angkat kepalaku." "Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang menaungiku.
Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan, Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka."
"Lalu, malaikat (penjaga) gunung itu memanggilku, mengucapkan salam, lantas berkata: 'Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan dua gunung ini kepada mereka.' (Tidak), namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun." (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW dalam hadis tersebut menunjukkan kepada kita tentang pentingnya mengedepankan keramahan daripada kemarahan untuk menghadapi gangguan orang lain. Coba kita bayangkan, di saat sedang menderita karena perlakuan orang lain, tetapi dengan kasih sayang, Rasulullah memaafkan kesalahan orang lain. Padahal, ia mampu untuk membalasnya.
Rasulullah ialah insan pemaaf yang luar biasa. Saat mendapatkan perlakuan buruk, tak dibalas dengan keburukan pula. Beliau dengan lapang dada memaafkan kesalahan orang lain sebagai akhlak mulia, tanda kelemahlembutan, dan luap belas kasihnya kepada sesama manusia. Allah SWT berfirman, "Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS asy-Syura: 40).
Insan pemaaf ialah orang yang mampu bersabar tatkala marah, bermurah hati ketika disepelekan, dan memaafkan saat mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain. Bila kita mampu melakukannya, Allah pun akan menjaga kita dari tipu daya setan yang terkutuk dan musuh pun menjadi kawan abadi hingga akhir hayat.
Kesediaan diri memaafkan kesalahan orang lain ialah hasil positif dari kekuatan diri dalam menahan luap amarah yang merasuki jiwa. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya di saat marah." (HR al-Bukhari). Wallahu a'lam.