REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Kelompok pemberontak yang didukung Rusia bertempur melawan pemerintah Ukraina. Mereka mengumumkan telah membentuk sebuah negara baru pada Selasa (18/7), waktu setempat. Mereka juga mengatakan, tersebut akan memiliki ibu kota di wilayah mereka.
Negara yang diusulkan tersebut didirkan setelah referendum yang diberi nama Malorossiya. Nama tersebut berasal dari era tsar yang berarti 'Rusia Kecil' yang pernah menggambarkan sebagian besar wilayah yang mencakup Ukraina modern.
Sebuah konstitusi yang diajukan oleh pemimpin pemberontak Alexander Zakharchenko mengatakan, perwakilan pemberontak yang mendeklarasikan sendiri telah disepakati oleh Republik Rakyat Donetsk dan Luganks serta wilayah lain. Mereka mengklaim negara baru tersebut akan menjadi pengganti Ukraina.
Deklarasi mengejutkan tersebut menimbulkan reaksi langsung dari otoritas Ukraina pro-Barat di Kiev, yang telah terkunci dalam konflik dengan pemberontak yang didukung Moskow sejak 2014 dan telah menelan korban jiwa sekitar 10 ribu orang. Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengatakan, dia akan memulihkan kedaulatan atas Donbass dan Krimea. Ia juga memperkirakan bahwa pembentukan Malorossiya akan berantakan, seperti pembentukan Novorossiya sebelumnya.
Menurut pemberontak, 19 wilayah Ukraina telah mendukung langkah tersebut. Kremlin belum berkomentar mengenai hal itu. Namun, dua anggota parlemen Rusia menyebutkan pembentukan neggara baru di Ukraina adalah hal yang tidak dapat dihindari.
Sementara, Deputi Negara bagian Duma Leonid Kalashnikov mengatakan kepada kantor berita negara, RIA Novosti, yang dikutip Telegraph, Selasa (18/7), bahwa pihak berwenang Ukraina telah mencapai jalan buntu di Ukraina Timur. “Orang tidak dapat berperang selamanya, menciptakan sebuah negara merdeka bisa menjadi jalan keluar bagi mereka,” katanya.
Sementara itu, Jerman menyatakan, harapan bahwa pihak berwenang Rusia secara resmi mencela langkah tersebut. langkah tersebut menggemakan pernyataan Moskow pada awal konflik yang memicu kekhawatiran bahwa, Rusia ingin mencaplok petak-petak daratan Ukraina setelah penyitaannya di semenanjung Krimea.
Ukraina dan Barat bersikeras bahwa Moskow telah menyalurkan pasukan dan senjata melintasi perbatasan untuk mengipas api perang di halaman belakang Eropa itu. Moskow telah membantah tuduhan tersebut meskipun ada banyak bukti bahwa mereka terlibat dalam pertempuran tersebut dan dukungan politik eksplisit untuk pemberontak tersebut.