REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, meminta Kongres Filipina untuk mengabulkan keinginan pemerintah terkait perpanjangan masa darurat militer di wilayah Filipina Selatan, tepatnya di Pulau Mindanao, setidaknya hingga akhir tahun ini. Perpanjangan masa darurat militer ini diharapkan bisa membuat angkatan bersenjata Filipina dapat menumpas kelompok pemberontak.
Wilayah, yang didiami sekitar 22 juta orang tersebut, memang dikenal kerap bergejolak dan menjadi basis kuat perlawanan para pemberontak, baik yang berlatarbelakang agama maupun Marxist. Pada 23 Mei silam, pemerintah Filipina menetapkan masa darurat militer di Mindanao lantaran kelompok Maute dan Abu Sayyaf sempat mengambil alih Kota Marawi.
Setelah menggempur pertahanan kelompok Maute dan Abu Sayyaf di Marawi selama 57 hari, Angkatan bersenjata Filipina belum dapat membebaskan kota Marawi sepenuhnya. Sejumlah kelompok-kelompok kecil pemberontak masih bertahan di tengah kota Marawi. Pemerintah menyebut, setidaknya 413 orang pemberontak, 98 tentara Filipina, dan 45 warga sipil, tewas dalam berbagai serangan yang terjadi di Marawi dalam beberapa bulan terakhir.
''Tujuan utama dari kemungkinan perpanjangan masa darurat militer ini agar Angkatan Bersenjata dapat melanjutkan operasi mereka, tanpa harus khawatir dengan masa tenggat waktu dan bisa fokus untuk membebaskan serta membangun Marawi kembali,'' ujar juru bicara Kepresidenan Filipina, Ernesto Abella, saat membacakan surat yang ditandatangani langsung oleh Duterte, seperti dikutip Reuters, Selasa (17/7).
Untuk membangun kembali Marawi, Duterte telah membentuk satuan gugus tugas khusus. Tidak hanya itu, Pemerintah Filipina juga telah menyiapkan anggaran sekitar 20 miliar peso atau sekitar 5 triliun rupiah untuk bisa membangun kembali Marawi. Sementara Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, mengakui, Pemerintah Filipina sempat menganggap remeh kekuatan dari para pemberontak di Marawi.
Ternyata, para pemberontak yang disebut terafiliasi dengan ISIS tersebut, terus melakukan rekrutmen militan dan mendapatkan pasokan senjata dari sejumlah pihak. Pada Selasa (17/7), waktu setempat, Lorenzana sempat menemui Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen. Pihak Singapura pun menawarkan bantuan militer berupa pengawasan lewat pesawat udara untuk mendapatkan lokasi pasti para pemberontak.
Terkait masa darurat militer, konstitusi Filipina memang mengatur masa darurat militer hanya diperbolehkan selama 60 hari. Namun, bila dianggap perlu, masa darurat militer ini bisa terus diperpanjang. Berdasarkan sistem ketatanegaraan Filipina, hanya Kongres yang bisa membatalkan dan merestui penetapan masa darurat militer oleh pemerintah Filipina.
Dengan masa darurat militer, aparat keamanan Filipina dapat melakukan investigasi lebih jauh dan menangkap seseorang tanpa adanya bukti pendahuluan serta surat perintah. Penangkapan tersebut ditujukan untuk para militan, fasilitator, dan penyandang dana dari gerakan-gerakan separatis tersebut.
Senator, Antonio Trillanes, pun mengkritik kebijakan Duterte tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan oleh Duterte. ''Sebelumnya, saya telah memperingatkan publik soal ini, kebijakan yang bisa membuat Duterte memiliki kecenderungan untuk menjadi otoriter. Kebijakan ini menjadi salah satu bukti hal itu,'' tutur Trillanes.
Penetapan masa darurat militer memang menjadi isu sensitif di Filipina. Pada era 70an, kebijakan darurat militer digunakan Presiden Marcos sebagai dalih untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Jika masa perpanjangan darurat militer ini diberlakukan, maka ini menjadi kali pertama masa darurat militer di Filipina diperpanjang sejak beleid tentang hal itu diperbarui oleh parlemen Filipina.