REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Di antara keutamaan generasi yang hidup di masa Nabi SAW adalah pancaran keteladanan dari mereka yang laksana mata air dan tak pernah kering. Menariknya, keteladanan itu bukan hanya satu sudut tapi dari berbagai sisi.
Abu Musa al-Asy'ari adalah salah satu mata air itu. Ia adalah teladan dalam hal keilmuan sehingga Nabi SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi dai. Ia juga seorang pejuang yang nyaris tak pernah absen dari medan jihad. Abu Musa juga seorang pembaca Qur'an yang suaranya semerdu Nabi Daud.
Namun di balik segala keutamaan itu, para pendengki selalu punya cara untuk memojokkan sahabat nabi ini. Sikapnya yang bijak dan netral saat menjadi utusan sebagai hakim usai Perang Shiffin sering dianggap kelemahannya. Mereka menyebut Abu Musa tak bisa berdiplomasi, kalah menghadapi Amr bin Ash dan julukan negatif lainnya.
Perang Siffin terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra (khalifah keempat setelah Rasulullah SAW wafat) dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah. Perang saudara pertama dalam peradaban Islam itu terjadi di Shiffin, Syria (Suriah), pada 1 Shafar tahun 37 H/ 26-28 Juli 657 M.
Lalu bagaimana sosok Abu Musa al-Asy'ari sebenarnya? “Ikuti pembahasannya dalam Kajian Sirah Nabawiyah dan Sejarah Islam yang rutin dilaksanakan setiap Rabu, ba'da Magrib di Masjid Alumni IPB Botani Square Bogor. Sebagai narasumber tetap adalah Ustaz Hepi Andi Bastoni, mantan wartawan majalah Sabili yang juga penulis lebih dari 57 judul buku bertemakan sirah nabawiyah,” kata Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Masjid Alumni IPB Bogor, Iman Hilman kepada Republika.co.id, Rabu (19/7).
Iman menambahkan, kajian pada Rabu, 19 Juli 2017 ini masuk seri ke-71. “Kajian Sirah Nabawiyah dan Sejarah Islam Seri ke-71 ini membahas tentang Abu Musa al-Asy'ari, ahli ilmu bersuara merdu. Kajian tersebut dilaksanakan ba’da Maghrib. Kami mengajak kaum Muslimin untuk bersama-sama menghadiri dan mengikuti kajian tersebut. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum,” ujar Iman Hilman.