REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Gerindra menghindari dilakukan pemungutan suara atau voting dalam pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu khususnya terkait ambang batas partai mengajukan calon presiden, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi.
"Menggunakan presidential treshold tinggalkan prinsip demokrasi karena merampok hak konstitusional partai. Apakah pantas voting terkait hal yang tidak sesuai dengan UU tetap dilakukan, padahal itu pelanggaran konstitusional," kata anggota Fraksi Gerindra DPR, M Syafi'i dalam Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Kamis (20/7).
Dia mengatakan apabila dalam RUU Pemilu tetap mencantumkan presidential treshold maka itu dinilai sebagai inkonstitusional karena sifat Pemilu 2019 dilakukan secara serentak. Menurut dia, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak sehingga presidential treshold menjadi persoalan karena belum ada hasil perolehan suara parpol ketika Pilpres.
"Putusan MK bahwa Pemilu serentak maka presidential treshold menjadi persoalan karena belum ada parpol yang memiliki perolehan suara," ujarnya.
Anggota F-Gerindra Ramson Siagian dalam Rapat Paripurna mengatakan presidential treshold sebesar 20/25 persen berpotensi memunculkan adanya calon tunggal. Hal itu, menurut dia tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan telah digunakan pada masa lalu sehingga diharapkan tidak kembali ke sistem lama.
"Itu mengarah pada otoriter, padahal itu yang diperjuangkan di DPR sehingga harus kembali pada amanat reformasi," ucapnya.