Kamis 20 Jul 2017 15:03 WIB

Relaksasi Ekspor Konsentrat Sebabkan 11 Perusahaan Smelter Tutup

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Smelter (Ilustrasi)
Smelter (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascakeluarnya PP Nomer 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara sebanyak 11 perusahaan smelter dinyatakan tutup. Hal ini dikarenakan sejak keran ekspor konsentrat kembali dibuka pihak industri smelter tak lagi mendapatkan pelanggan untuk beroperasi.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia, Jonatan Handojo menjelaskan 92 persen perusahaan pemurnian terancam tutup karena pemerintah membuka keran ekspor konsentrat. Tercatat, sebanyak 23 perusahaan dari 25 perusahaan smelter mengalami krisis akibat peraturan tersebut.

"Hanya dua yang memang besar masih beroperasi sampai saat ini. Kebanyakan dari mereka memang sudah hampir kolaps. Sebagian masih ada urusan dengan perbankan, sebagian lainnya tak mau diumumkan, karena takut ada gejolak dengan karyawan," ujar Jonatan, Kamis (20/7).

Jonatan menjelaskan dengan dibukanya keran ekspor konsentrat membuat harga bijih nikel anjlok. Ketika harga nikel anjlok akhirnya minat masyarakat untuk melakukan pemurnian menjadi turun, sebab harga operasi yang jauh lebih tinggi ketimbang harga jual bijih konsentrat.

Turunnya minat perusahaan untuk melakukan pemurnian menjadikan perusahaan smelter akhirnya tak mendapatkan orderan produksi. Hal ini kemudian membuat pendapatan menurun dan memicu keengganan investor untuk melakukan investasi di industri smelter.

"Hanya ada lima smelter yang berhasil terealisasi dari 12 smelter bauksit dan nikel yang direncanakan sejak 2015 lalu. Selain itu, dari empat smelter yang direncanakan di tahun lalu, cuma dua di antaranya yang terealisasi," ujar Jonatan.

Jonatan mengatakan para investor yang lebih banyak berasal dari Cina ini akhirnya memilih untuk mengembangkan investasi smelternya di negara asalnya. Jonatan mengatakan hal ini terbukti dengan adanya pengiriman besar besaran nikel konsentrat ke Cina pada Mei kemarin.

"Smelter di sini tutup. Lalu, buka lagi smelter di sana dan dapat barang mentah dan bahan baku dari Indonesia. Apa yang didapat pemerintah? Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tentu tak optimal, karena harganya saja sedang jatuh," ujar Jonatan.

Saat ini tercatat, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel berada pada angka 9.600 dolar AS per ton. Sedangkan harga nikel konsentrat di pasaran berada pada harga 8.600 dolar AS per ton.

"Sekarang juga sudah menyentuh 9.700 dolar AS per ton, tapi tetap saja di bawah HPP. Ini baru bahan baku dan pendukung saja, belum dimasukkan ongkos lain, seperti bunga bank, depresiasi. Padahal, sebelum relaksasi diumumkan harga nikel masih berada di kisaran 12 ribu dolar AS per ton," ujar Jonatan.

INTAN

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement