REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) meminta Israel dan Yordania untuk mengurangi ketegangan baru-baru ini di Yerusalem. Khususnya pascabentrok antara warga Palestina dan kepolisian Israel terkait pemasangan detektor logam di Masjid Al-Aqsha.
“AS sangat memperhatikan ketegangan di sekitar Temple Mount atau Haram Al-Sharif (sebutan Muslim), sebuah situs suci bagi orang Yahudi, Muslim, dan Kristen,” kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan yang dirilis Rabu (19/7) malam waktu setempat, seperti dilaporkan laman Anadolu Agency, Kamis (20/7).
“AS menyerukan kepada Israel dan Kerajaan Yordania untuk melakukan upaya dengan iktikad baik untuk mengurangi ketegangan dan menemukan solusi yang menjamin keamanan publik dan keamanan situs serta mempertahankan status quo,” kata Gedung Putih.
Pada Jumat pekan lalu, Israel menutup akses menuju Masjdi Al-Aqsha setelah terjadi penyerangan yang menyebabkan dua personel kepolisian mereka tewas. Penyerangan dilakukan oleh tiga warga Palestina yang akhirnya tewas ditembak polisi Israel di dalam kompleks Masjid Al Aqsha.
Penutupan dilakukan hingga Ahad (16/7). Namun ketika dibuka kembali, kepolisian Israel mengoperasikan sebuah detektor logam dan memerintahkan setiap Muslim yang hendak memasuki Masjid Al-Aqsha untuk diperiksa terlebih dulu.
Hal ini ditentang keras oleh umat Muslim dan warga Palestina di sana. Kondisi itu kemudian juga menyebabkan pecahnya bentrokan yang mengakibatkan puluhan warga Palestina terluka karena terhantam peluru karet.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyerukan Hari Kemarahan untuk merespons tindakan Israel tersebut. Ia juga mendesak Yordania sebagai penjaga keamanan resmi situs suci umat Islam di Yerusalem untuk turut mengambil tindakan tegas.
Berdasarkan perjanjian, Yordania memiliki kewenangan untuk mengelola kompleks Al-Aqsha. Hanya Muslim yang boleh beribada di sana.