Jumat 21 Jul 2017 07:58 WIB

'Komentar Jerman Soal Penahanan Aktivis tak Bisa Diterima'

Polisi Turki mengamankan pengunjuk rasa.
Foto: REUTERS/Sertac Kayar
Polisi Turki mengamankan pengunjuk rasa.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Komentar oleh pejabat Jerman mengenai penangkapan enam pegiat hak asasi manusia Turki, termasuk seorang warga Jerman, tidak dapat diterima dan merupakan bentuk campur tangan pada pengadilan, kata Kementerian Luar Negeri Turki, Kamis (20/7).

Jerman pada Rabu mengangkat kemungkinan untuk menangguhkan pembayaran bantuan Uni Eropa ke Turki setelah memanggil duta besar Ankara ke Berlin untuk memprotes penangkapan enam orang tersebut, termasuk pimpinan Amnesty International Turki, Idil Eser.

Warga Jerman Peter Steudtner juga termasuk di antara orang-orang yang dipenjara saat menanti persidangan atas tuduhan terorisme, yang oleh Berlin diberi label "tidak masuk akal", dalam sebuah langkah yang selanjutnya meningkatkan ketegangan antara sekutu NATO itu.

"Ada campur tangan langsung di pengadilan Turki dan komentar yang digunakan yang melampaui batas," kata kementerian luar negeri Turki, merujuk pada komentar oleh pejabat pemerintah Jerman dan juru bicara kementerian luar negeri.

Baca: Protes Penangkapan Aktivis, Jerman Panggil Dubes Turki

"Komentar tersebut sekali lagi menunjukkan standar ganda dalam pendekatan mereka terhadap hukum orang-orang yang mencegah teroris dibawa ke pengadilan sambil merangkul anggota kelompok teroris yang menargetkan negara kita," kata kementerian tersebut.

Keenam pegiat hak asasi manusia tersebut termasuk di antara 50 ribu orang yang ditahan karena pengadilan yang ditangguhkan dalam upaya Turki melakukan penindakan keras pascapercobaan kudeta satu tahun lalu.

Idil Eser, direktur Amnesty setempat, adalah satu dari 10 pegiat termasuk seorang warga Jerman dan Swedia yang ditahan pada 5 Juli saat menghadiri sebuah lokakarya keamanan digital dan manajemen informasi di sebuah hotel dekat Istanbul.

Sementara itu, pada Senin (17/7) Turki memperpanjang pemerintahan dalam keadaan darurat selama tiga bulan lagi, hampir setahun setelah diberlakukan setelah kudeta militer yang gagal pada Juli lalu. Pemerintah meminta parlemen memperpanjangnya untuk ke empat kali dan proposal tersebut disetujui oleh majelis. Partai AK yang dipimpin Presiden Tayyip Erdogan memiliki suara mayoritas di parlemen.

Perpanjangan pemerintahan darurat itu berlangsung setelah acara-acara pada akhir pekan yang diselenggaraan untuk menandai kudeta gagal yang menewaskan sekitar 250 orang, sebagian besar warga sipil yang tak bersenjata.

Sejak keadaan darurat diberlakukan pada 20 Juli tahun lalu, lebih 50.000 orang telah ditangkap dan 150.000 dipecat dalam operasi penumpasan. Para penentang Erdogan menyatakan operasi itu telah mendorong Turki ke arah pemerintahan yang otoriter.

Pemerintah menegaskan bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk menghadapi tantangan keamanan yang dihadapi Turki dan mengikis hingga ke akar-akarnya para pendukung Fethullah Gulen, ulama yang berkedudukan di Amerika Serikat yang dikatakan berada di balik usaha kudeta itu. Gulen telah membantah keterlibatannya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement