REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin berpendapat, keputusan sidang paripurna DPR mengenai ambang batas 20 hinga 25 persen untuk pencalonan presiden, melanggar konstitusi. Dia meyebut hal itu tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini jelas-jelas pelanggaran konstitusi. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa hak setiap parpol peserta pemilu mengusulkan pasangan capres," kata Irman di Jakarta, Jumat (21/7).
Ia menjelaskan bahwa secara pribadi terlibat langsung dalam pengajuan uji materi UU di MK agar pemilu dilakukan secara serentak yang akhirya dikabulkan oleh MK. Dia menjelaskan, putusan MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bagi partai politik, tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensial.
Dalam penyelenggaraan pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 untuk mendapat dukungan keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, calon presiden terpaksa melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan parpol yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. "Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada strategis dan jangka panjang. Misalnya, karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang," kata Irman.
Oleh karena itu, tambahnya, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. "Dengan demikian, sebenarnya syarat ambang batas yang telah diputuskan DPR dan Presiden sebenarnya syarat untuk "menyandera" presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensial," katanya.
Menurut dia, ambang batas tersebut sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena "kawin paksa capres", mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar. Sehingga pilihan pasangan calon akan semakin mempersempit menu prasmanan capres dari setiap parpol.
Irman menjelaskan bukan hanya di situ, parpol yang memperoleh kursi di DPR pada pemilu 2014, tidak serta merta mendapatkan kursi lagi pada pemilu 2019. sSehingga intensi penguatan presidensial, tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri (contra legem, yang justru menyandera dan melemahkan kekuasaan presiden terpilih). "Oleh karenanya ambang batas ini adalah inkonstitusional," kata Irman.