REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR akhirnya mengesahkan Undang Undang (UU) Pemilu yang baru, Kamis (20/7) malam. Peneliti Politik LIPI, Firman Noor menilai Presidential Treshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang akhirnya disepakati 20 persen, menjadi catatan buruk dalam nalar demokrasi dan konstitusi.
"Adanya PT 20 persen adalah langkah mundur atau setback bagi upaya penciptaan kemandirian pemerintah, penaksimalan fungsi chceks and balaces dan di atas itu semua tegaknya demokrasi yang sesungguhnya," kata Firman kepada Republika.co.id, Jumat (21/7).
Menurutnya PT yang menjadi isu krusial RUU Pemilu, menyikapi penyelenggaraan Pemilu serentak, telah menjadi permainan partai politik. Jelas menurutnya PT 20 persen ini sebuah pertunjukan yang di luar nalar.
"Bagaimana logikanya A dan B serentak dilaksanakan, namun A hanya bisa dilakukan setelah B dilaksanakan. Terlambat dalam hitungan menit saja jelas sudah tidak bisa dibilang serentak," ujarnya menganalogikan Pilpres dan Pileg secara serentak.
Padahal jika ditarik ke belakang, semangat Pemilu serentak yang diamanahkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014, agar presiden terbebas dari belenggu oppotunisme partai-partai yang hanya mengekalkan oligarki politik.
Di sisi lain dengan PT di atas 20 persen partai politik justru telah membungkam ekspresi dan aspirasi rakyat untuk mencalonkan calon presiden alternatif. "Hal yang pasti, potensi munculnya tokoh alternatif sudah terlucuti, hak-hak rakyat untuk mengkespresikan aspirasinya tercuri oleh partai," ungkap Firman.