REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog konseling Muhammad Iqbal mengatakan, akses layanan kesehatan mental harus dapat dibuka seluas-luasnya menyusul maraknya kasus "bullying" atau perundungan terutama yang melibatkan anak-anak.
Iqbal dalam diskusi "Berpihak Pada Anak" di Jakarta, Sabtu (22/7), memberi contoh ada sejumlah anak korban penyalahgunaan narkoba dan korban lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mengaku tidak tahu harus bercerita pada siapa saat menghadapi masalah. Anak-anak tersebut mengaku tak bisa dengan bebas menceritakan keluh kesah kepada orang tua karena takut.
Oleh karena itu, akses layanan konseling menjadi suatu kebutuhan yang harus dipertimbangkan. Terlebih, menurut dia, kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sekitar kini semakin berkurang karena paparan internet.
"Ketika ada yang menawarkan solusi dengan narkoba, pornografi dan lainnya, mereka dengan mudah terayu. Makanya harus ada akses layanan konseling," katanya.
Dosen fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana itu menuturkan aksi "bullying" yang banyak dilakukan di lingkungan sekolah juga masih sulit mendapat pertolongan karena guru yang tidak memahami.
"Guru Bimbingan Konseling (BK) itu juga tugasnya saya lihat hanya menghukum. Mereka seharusnya dilatih. Ini yang sudah kami lakukan, yakni melatih empati, simpati para guru serta melakukan refleksi perasaan agar lebih memahami anak," katanya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang 2012-2016, terjadi sebanyak 23.858 kasus kekerasan anak, termasuk "bullying", baik sebagai korban maupun pelaku.