Ahad 23 Jul 2017 09:55 WIB

DPR RI Apresiasi Penegakan Hukum Penjualan Beras Bersubsidi

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Bayu Hermawan
Polisi menyegel gudang penyimpanan beras yang dipalsukan kandungan karbohidratnya dari berbagai merk di gudang beras PT Indo Beras Unggul, di kawasan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (20/7) malam.
Foto: Antara/Risky Andrianto
Polisi menyegel gudang penyimpanan beras yang dipalsukan kandungan karbohidratnya dari berbagai merk di gudang beras PT Indo Beras Unggul, di kawasan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (20/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron memberikan apresiasi atas penegakan hukum terhadap PT, Indo Beras Unggul yang diduga mengoplos beras bersubsidi untuk dijual di pasaran.

"Saya memberi apresiasi atas penegakan hukum di bidang pangan, itu pula yang menjadi harapan kami yang dituangkan dalan UU Pangan 18 Tahun 2012," ujarnya, Ahad (23/7).

Herman menjelaskan, PT. Indo Beras Unggul merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera. Perusahaan terbatas tersebut, lanjut dia, adalah perusahaan dibidang perberasan yang kapasitas produksinya mencapai 1 juta ton.

"Ini merupakan perusahaan swasta terbesar setelah Perum Bulog yang memiliki kapasitas gudang 4 juta ton," katanya.

Politikus partai Demokrat ini menduga beras tersebut alokasi Raskrin (beras miskin) yang setiap tahun dialokasikan untuk keluarga miskin, kelas beras medium, dan disalurkan secara tetutup oleh Bulog dan Pemerintah Daerah. Kemungkinan berikutnya, beras subsidi yang dimaksud adalah bantuan terhadap petani dalam bentuk subsidi pupuk, benih, dan bantuan produksi lainnya.

"Kalau Raskin/Rastra sudah ada peraturannya, sehingga kalau disalahgunakan tentu melanggar hukum. Tetapi jika yang dimaksud adalah petani yang mendapat subsidi produksi, maka belum ada aturan atas hasil produksinya, termasuk harus di jual kesiapa dengan ketetapan harga tertentu, karena belum ada aturannya," jelasnya.

Herman menambahkan, kecuali ada inpres 5 tahun 2015 yang mengatur HPP (Harga Pembelian Penerintah) yang saat ini menjadi harga patokan pembelian pemerintah kepada petani/pelaku usaha melalui pengadaan Bulog. Saat ini, kata dia, aturan HET (Harga Eceran Teringgi) yang baru saja diberlakukan oleh pemerintah, jika yang dimaksud adalah beras hasil petani yang disubsidi atau yang mendapat bantuan saprotan dan saprodi, belum ada peraturan yang mengikat terhadap hilirnya.

Subsidi dan berbagai bantuan saprotan dan saprodi dimaksudkan, lanjut dia, agar usaha petani lebih kompetitip, produktif dan petani mendapatkan benefit. Penguasaan lahan pangan yang sempit dipastikan usaha petani kurang ekonomis, sehingga harus dibantu dan diringankan biaya peroduksinya.

"Itulah pentingnya subsidi dan bantuan tersebut bagi petani," kata dia.

Herman juga mempertanyakan dihapusnya Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian di Kementrian Pertanian, sebab itulah, menurut dia, tidak ada yang mengurus keperluan di hilir petani. Herman berharap petani jangan dijadikan mesin produksi, tapi harus menjadi subyek penyedia pangan dan terlibat sampai kepada procesing hasil produksinya, bahkan sampai ke pasar, sehingga benefit dapat dirasakan petani.

"Adapun jika PT IBU dan PT TPS ada pelanggaran terkait dengan pasal-pasal pelanggaran hukum dalam Undang Undang 18/2012 tentang Pangan ataupun UU Lainnya, silahkan diusut tuntas dan tegakan hukum seadil-adilnya," ujar dia mengakhiri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement