REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra akan segera melakukan uji materi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) setelah UU tersebut disahkan. Ia akan fokus menguji pasal-pasal tentang ambang batas pencalonan presiden.
"Saya secepatnya akan lakukan uji materil ke MK. Namun, saya harus menunggu disahkannya UU tersebut, dalam arti ditandatangani presiden, dinomori, dan dimuat dalam lembaran negara," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/7).
Menurut dia, tanpa selesainya proses pengesahan, pendaftaran pengujian UU belum bisa dilakukan. Jika pengesahan RUU ini dapat selesai pekan depan, maka ia akan melaporkannya langsung pada pekan yang sama. Yusril akan memakai namanya sendiri sebagai pemohon.
"Insyaallah saya mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang karena partai saya, PBB, telah memutuskan untuk mendukung saya maju ke pencalonan presiden tahun 2019 nanti," kata dia.
Untuk itu, Yusril menyebutkan, ia akan fokus menguji pasal-pasal tentang ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen. Menurut dia, pencalonan dirinya oleh PBB akan terhambat karena ketentuan tersebut. Tapi, kata Yusril, hambatan tersebut bukan hanya kepada dirinya saja, tetapi juga bakal calon lain.
"Kemungkinan besar juga akan dihadapi oleh semua bakal calon lain seperti Prabowo Subianto yang akan dicalonkan Gerindra atau Agus Harimurti Yudhoyono yang potensial dicalonkan oleh Partai Demokrat," ungkap dia.
Yusril juga menjelaskan, perlawanan ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah jalan konstitusional terakhir yang dapat ditempuh. Hal itu terutama setelah fraksi-fraksi yang menentang ketentuan tersebut kalah suara di DPR. "Karena itu, saya sangatlah berharap MK akan bersikap benar-benar obyektif dan akademik menangani perkara yang sarat dengan kepentingan politik yang sangat besar ini," ujar dia.
Ia berharap, MK dapat memutus segera permohonan itu sebelum Oktober 2017, ketika tahapan Pemilu 2019 telah dimulai. Meskipun permohonan itu dikabulkan, kata Yusril, jika MK terlambat atau sengaja melambat-lambatkannya, maka putusan itu belum tentu dapat dilaksanakan untuk Pemilu 2019.
"Akhirnya, putusan itu akan sama dengan putusan MK tentang pemilu serentak. Putusan diambil tahun 2014, namun Ketua MK ketika itu, Hamdan Zulva, membacakan putusan dengan mengatakan pemilu serentak baru dilaksakan tahun 2019," tutur dia.
Sementara, kata Yusril, aturan pemilu tidak serentak itu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 oleh MK sebelum pelaksanan Pemilu 2014. Ini dinilai Yusril sebagai sebuah anomali dan keanehan putusan MK yang tidak perlu diulang lagi.