REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan sejumlah faktor saat memproses uji materi Undang-undang (UU) Pemilu. Meski demikian, MK menyatakan tidak dapat menargetkan jadwal penyelesaian proses uji materi UU Pemilu.
"Kalau soal prioritas, barangkali MK tidak bisa memprioritaskan satu perkara dan tidak memprioritaskan perkara lain. Namun, ada faktor-faktor yang harus dipertimbangkan MK, seperti soal pemanfaatan dan urgensi dari UU Pemilu. Bahwa UU ini adalah landasan untuk Pemilu ya itu pasti akan menjadi pertimbangan," kata Fajar kepada wartawan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (24/7).
Fajar menegaskan bahwa semua perkara yang masuk ke MK tetap dijadikan skala prioritas untuk diproses. Terkait perkara yang menyoal UU Pemilu erat kaitannya dengan agenda ketatanegaraan.
Dengan demikian, kata dia, ada pemahaman bahwa kepastian hukum terhadap aturan itu tidak terganggu. "Semua penyelenggaraan pemilu bisa dilandaskan pada uu tersebut sampai kemudian keluar putusan MK jadi tidak bisa sebelum ada putusan ada kepastian hukum," tutur Fajar.
Dia menjelaskan jika MK tidak dapat menargetkan masa penyelesaian uji materi UU Pemilu. Hal tersebut sepenuhnya menjadi ranah hakim konstitusi. "Itu betul-betul menjadi domain dalam rapat permusyawaratan hakim. Jika secara sosial politik ketatanegaraan menghendaki itu (cepat selesai) MK pasti akan mempertimbangkan. Tapi kalau dalam berapa bulan dan berapa pekan itu harus diputus maka kami tak bisa perkirakan sebab dikhawatirkan putusan menjadi tidak berkualitas," tambah Fajar.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengatakan pihaknya segera mengirim surat kepada MK untuk meminta prioritas penanganan uji materi UU Pemilu. Surat tersebut segera dilayangkan setelah UU Pemilu diundangkan pemerintah.
Menurut Arief, KPU tidak mungkin mempengaruhi, mengintervensi dan memberikan pendapat mengenai putusan MK ke depannya. Arief menegaskan bahwa KPU berharap putusan MK keluar lebih cepat. "Dengan begitu, KPU punya waktu cukup untuk persiapkan dan laksanakan apa saja yang menjadi putusan MK," tuturnya di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin.
Sementara itu, pada Senin siang, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mendatangi Gedung MK untuk mengajukan uji materi pasal 222 UU Pemilu. Wakil Ketua ACTA, Hendarsam Marantoko, mengatakan pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusung calon presiden/wakil presiden harus memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya bertentangan dengan pasal 4, pasal 6a, pasal 28d ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.
Sebelumnya, pada Ahad (23/7), Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan tahapan, jadwal dan program Pemilu 2019 saat memproses uji materi terkait UU Pemilu. Proses uji materi diminta tidak mengganggu tahapan pemilu.
Menurut Titi, pihaknya dan pemerhati pemilu lainnya akan segera mengajukan uji materi ke MK mengenai aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi dan 25 persen perolehan suara sah nasional. Selain Perludem, beberapa pihak lain seperti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Partai Idaman dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga berencana menempuh upaya serupa.