Senin 24 Jul 2017 19:49 WIB

Pengamat: Ambang Batas Presiden 20 Persen Inkonstitusional

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Margarito Kamis (tengah)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Margarito Kamis (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai UU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, frasa dalam Pasal 6A (2) UUD 1945 menyebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, sebelum dilaksanakannya pemilihan umum.

Artinya, setiap partai politik bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden selama sah dan terdaftar menjadi peserta pemilu. "Jadi syaratnya dia (partai politik) sah atau tidak? Bukan berapa perolehan angkanya di DPR. Itu (presidential treshold) inkonstitusional, berapa pun besaran angkanya," kata Margarito saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/7).

Margarito juga mempermasalahkan perolehan angka yang didapat partai-partai politik agar bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pasalnya, saat ini pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan legislatif digelar serentak. Menurutnya, tidak bisa jika ambang batas yang digunakan partai mengaju pada hasil pileg di 2014.

"Sekarang ini yang disebut pemilihan umum itu adalah memilih anggota DPR dan Presiden secara bersama-sama. Jadi pristiwa mana yang akan anda pakai untuk mendapatkan angka?" ucap Magrarito.

Seperti diketahui, RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen yang diajukan partai-partai kolaisi pemerintah disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPR Setya Novanto pada Jumat (21/7). Sementara itu empat partai yakni Demokrat, Gerimdra, PAN dan PKS melakukan walkout dalam sidang paripurna tersebut lantaran tidak setuju dengan presidential threshold 20 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement