Selasa 25 Jul 2017 08:53 WIB

Harga Beras Premium Sulit Dibatasi, Ini Penjelasannya

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nur Aini
Beras Premium RI - ilustrasi
Beras Premium RI - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) M. Firdaus mengatakan, duduk persoalan kisruh beras premium adalah keinginan dari pemerintah agar harga beras tidak mahal di tingkat konsumen. Jika dilihat dari sisi ekonomi dan bisnis, persoalan terjadi dinilai karena adanya perdagangan beras yang dibisniskan.

"Duduk persoalan kisruh beras premium jika dilihat dari sisi pemerintah adalah adanya keinginan dari pemerintah supaya harga beras tidak mahal di tingkat konsumen. Kita tahu, penyumbang inflasi terbesar itu masih beras," ujar Firdaus dalam keterangan pers yang diterma Repubika.co.id, Senin (24/7).

Ia juga mengatakan, persoalan tentang beras premium ini akan menjadi menarik jika dilihat dari sisi ekonomi dan bisnis, yaitu dengan adanya perdagangan beras yang dibisniskan. Tentu, tujuan utama dari bisnis adalah mencari untung. "Salah satunya dengan melakukan pengolahan. Misalnya, beli beras dari petani, kemudian diolah dan dijual ke supermarket hingga sampailah beras ke konsumen," kata dia.

Menurut Firdaus, pedagang membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Lalu, mereka melakukan pengolahan dan menjualnya kembali dengan harga yang relatif sangat tinggi dengan nama beras premium.

Sedangkan pemerintah, kata dia, menilai pedagang membeli produk dari petani yang disubsidi oleh pemerintah. Sehingga, seakan-akan pengusaha atau pedagang mengambil keuntungan di luar kewajaran. Seharusnya, pedagang menjual produknya tidak terlalu mahal sesuai keinginan pemerintah.

"Dengan hitung-hitungannya, pemerintah mempertanyakan, apakah harus sebesar itu keuntungan pedagang? Beli beras kemudian ditreatment (sederhana), lalu dijualnya mahal. Ini kan pokok persoalannya, kata Firdaus.

Karena itu, Firdaus menjelaskan kondisi di lapangan saat ini tentang proses perdagangan beras. Ia pun menyoroti Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.500 per kg. Menurut dia, angka tersebut mustahil diterapkan.

"Karena kita lihat kalau harga pembelian dari produsen itu minimum Rp 7.000-an, maka tidak mungkin beras premium sampai di konsumen melalui supermarket dengan harga Rp 9.000-an," ungkap Firdaus.

Jika dihitung untuk kembali pokok, kata dia, harga beras premium harus Rp 12 ribuan per kg. Apabila pedagang atau supermarket ingin mengambil untung, harga minimalnya sekitar Rp 15 ribu. Pedagang membeli beras di petani sebesar Rp 7.500. Setelah itu ada proses pengangkutan ke gudang, kemudian diolah, dan mungkin semacam pembersihan.

"Pengolahan pada beras tidak banyak, karena tidak mengalami perubahan fisik. Paling pencampuran, pengemasan, dan packaging. Hanya itu," ujarnya.

Selanjutnya, Firdaus mengatakan, biaya pengangkutan hingga pengemasan itu tidak mungkin hanya Rp 2.000-an. Untuk beras yang levelnya premium, apalagi jika membelinya di supermarket, ada listing fee 30 persen. Maka, harga beli di produsen dan supermarket mengalami kenaikan dua kali lipat.

"Biasanya 30 persen biaya, untungnya 70 persen dibagi dua untuk supermarket dan distributor. Nah kalau Rp 7.000 ke Rp 9.000, apakah itu mungkin?" kata Firdaus.

Selain itu, kata dia, jika hal ini diterapkan ke beras karena mendapatkan subsidi dari pemerintah, ia mempertanyakan bagaimana dengan produk yang lain. "Logikanya begitu. Apakah kalkulasi HET itu sudah benar apa belum. HET untuk beras medium masih oke, tapi kalau beras premium tidak mungkin," kata Firdaus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement