Selasa 25 Jul 2017 15:41 WIB

Ribuan Nelayan Indramayu tak Melaut Sejak Lebaran

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Nur Aini
Sejumlah nelayan mengangkut ikan Hiu Martil (Sphyrna mokarran) dari kapal untuk di lelang di Tempat Pelelangan Ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (3/1).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Sejumlah nelayan mengangkut ikan Hiu Martil (Sphyrna mokarran) dari kapal untuk di lelang di Tempat Pelelangan Ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID,INDRAMAYU -- Ribuan nelayan tradisionaldi Kabupaten Indramayu tak melaut. Hal itu menyusul kencangnya tiupan angin dan tingginya gelombang di laut.

 

"Sejak Lebaran sampai sekarang mereka menganggur, " kata Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)Kabupaten Indramayu, Dedi Aryanto, kepada Republika.co.id, Selasa (25/7).

 

Dedi menjelaskan, jumlah nelayan tradisional di Kabupaten Indramayu yang kini menganggur ada sekitar 10 ribu orang. Mereka terbiasa melaut dengan menggunakan perahu berukuran kurang dari lima gross ton (GT). Dia menyebutkan, ada lebih dari 2.000 perahu berukuran kurang dari lima GT yang kini tak melaut.

 

Dedi mengatakan, hal itu disebabkan terjadinya angin kencang dan gelombang tinggi di laut. Menurutnya, kondisi tersebut membuat perahu kecil rawan mengalami kecelakaan sehinggamengancam keselamatan nelayannya.

 

Selain itu, angin kencang dangelombang tinggi juga membuat penangkapan ikan mejadi sulit. Pasalnya, jaring yang ditebarkan kerap terbawa angin. "Saat musim angin timur seperti ini, nelayan tradisional di Indramayu biasanya memang mengalami paceklik, " kata Dedi.

 

Untuk memperoleh hasil tangkapan, para nelayan itu harus mencari ikan di area tangkapan yang lebih jauh dan mengeluarkan modal yang lebih besar. Namun meskipun begitu, hasil yang diperoleh seringkali tidak bisa menutupi modal yang telah dikeluarkan.

 

Dedi menyebutkan, untuk kapal kecil berukuran kurang dari 5 GT, modal yang dikeluarkan untuk sekali melaut berkisar antara Rp 200 ribu-Rp 600 ribu. Sedangkan saat ini, hasil tangkapan yangdiperoleh hanya berkisar Rp 300 ribu-Rp 500 ribu.

 

"Karena hasil yang didapat gak menutup buat biaya (modal), akhirnya banyak yang memilih istirahat (tidak melaut), " tutur Dedi.

 

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para nelayan itu terpaksa banting setir menjalani pekerjaan lain. Di antaranya menjadi buruh tani maupun kuli bangunan. Bahkan, adapula yang tak bekerja apapun dan menggantungkan kebutuhan ekonomi keluarganya dari berutang kewarung.

 

Hal itu seperti yang dilakukan salah seorang nelayan di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Wamin. Dia mengatakan, sejak gelombang tinggi terjadi, dia secara otomatis tak bisa lagi mencari ikan. Akibatnya, tidak ada pemasukan untuk membuat asap dapur tetap mengebul.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement