REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Chusnul Mari'yah menilai pemerintah membunuh lawan-lawan politiknya dengan aturan presidential threshold (PT) 20 persen dalam undang-undang Pemilu. Lawan politik dibuat tak berkutik dengan Undang-Undang resmi, yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan mereka semata.
"PT itu bukti suatu kepentingan partai atau kekuatan politik yang pada dasarnya anti pada kompetisi. Dengan cara menggunakan aturan-aturan yang menghilangkan kesempatan untuk bisa maju. Dalam bahasa yang mudah, 'membunuh lawan-lawan politik' dengan pasal-pasal," ujar Chusnul saat dihubungi, Selasa (25/7) malam.
Belum habis gejolak Perppu yang dibuat secara tiba-tiba tanpa mempertimbangkan kondisi genting, kini kembali Undang-Undang dijadikan senjata pembantaian massal bagi siapapun yang dianggap menentang pemerintah. Chusnul mengungkapkan, PT tersebut bisa dianggap bertentangan dan melanggar konstitusi.
"Presiden wajib hukumnya memperhatikan apakah keinginan menjadi presiden itu menggunakan UU yang pasalnya melanggar konstitusi. Demokrasi itu salah satu indikatornya kompetisi, dengan aturan itu, pemerintah jelas sekali terlihat tidak ingin memiliki pesaing," tutur Chusnul.
RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen yang diajukan partai-partai koalisi pemerintah disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPR Setya Novanto pada Jumat (21/7). Empat partai oposisi pemerintah, Gerindra, PAN, PKB, dan PKS, melakukan aksi walk out dari sidang paripurna itu.
Tidak setuju dengan adanya ambang batas tersebut, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dan Perludem berencana mengajukan judicial review untuk menguji UU tersebut ke MK, dengan menggandeng Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
"Dalam sebuah Pemilu, masyarakat harus paham betul siapa yang mereka pilih. Artinya, jika masyarakat tidak setuju dengan aturang-aturan mendadak yang dibuat oleh pemerintah, pada Pilpres 2019 ya tidak usah dipilih lagi saja," ujarnya.