REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menolak penggunaan penambah oktan bahan bakar (octane booster). Khususnya yang berjenis octane enhancer non-oxygenate yang memang banyak digunakan saat ini. Alasannya, produk ini disinyalir berpotensi membahayakan lingkungan. Bahkan, mengancam kesehatan manusia yang menghirup sisa pembakarannya.
Gaikindo mendefinisikan octane enhancer non-oxygenate sebagai campuran beberapa unsur logam (organometallic) yang bisa meningkatkan nilai oktan. Antara lain, besi (Fe), timbal (Pb), dan mangan (Mg). Unsur-unsur ini dikenal berbahaya bagi lingkungan. Gaikindo pun dengan tegas menolak penggunaan suplemen ash-forming aditif atau non-oxygenate ini pada mesin.
Indra Chandra Setiawan, Anggota Tim Transportasi, Lingkungan, dan Infrastrukstur Gaikindo, mengatakan kendaraan roda empat dewasa ini telah dilengkapi peralatan pengontrol emisi yang sangat rumit. Salah satunya yaitu 3-way catalyst dan oksigen sensor untuk gas buang yang mampu melakukan control closed loop yang sangat teliti. Sehingga, pencampuran octane enchancer non-oxygenated akan merusak sensor kendaraan sehingga tidak optimal. "Sistem kendaraan ini harus bisa dijaga dalam keadaan optimal agar dapat mempertahankan emisi gas buang yang rendah sepanjang usia kendaraan," katanya dalam siaran pers, Kamis (4/7).
Menurutnya, penggunaan ash-forming aditif dapat memengaruhi secara signifikan kondisi operasi katalis dan komponen lainnya, termasuk sensor oksigen. "Akhirnya, penggunaan octane booster non-oxygenated bisa meningkatkan emisi kendaraan," ungkapnya.
Heru Sutanto dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), juga mengatakan hal senada. Menurutnya, bila senyawa tersebut digunakan pada kendaraan bermotor, hal itu akan berpengaruh buruk pada kinerjanya. AISI juga melihat penggunaan kandungan bahan bakar di Indonesia harus sesuai dengan emisi gas buang yang telah diatur oleh pemerintah.
Terhitung 1 Agustus 2013, pemerintah menetapkan semua kendaraan sudah memenuhi standar Euro 3 (European Emission Standard 3). Euro 3 merupakan salah satu standar emisi hidrokarbon dan karbon monoksida bagi kendaraan baru yang dapat diterima di negara-negara Uni Eropa.
Selama ini, Indonesia masih memakai standar Euro 2. Baru mulai Agustus tahun ini secara bertahap menuju Euro 3. Dasar hukum penggunaan standar Euro 3 ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No23/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 10/2012 tentang Baku Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori L3.
Menurut standar Euro 3, kendaraan roda dua dengan kapasitas silinder kurang dari 150 cm3 hanya boleh menghasilkan 0,8 gr/km hidrokarbon (HC); 0,15 gr/km nitrogen oksida (NOx); dan 2 gr/km karbon monoksida (CO).
Sementara kendaraan roda dua dengan kapasitas silinder lebih dari 150 cm3 hanya boleh menghasilkan 0,3 gr/km HC; 0,15 gr/km NOx, dan 2 gr/km CO. Standar emisi Euro 3 ini diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan standar-standar sebelumnya.