REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perancang mobil Listrik Evina Dasep Ahmadi menyatakan saat ini pasar mobil di Indonesia sudah penuh sesak. Dia mengimbau pemerintah jika ingin mengembangkan mobil nasional maka jangan bermain di kelas mobil konvensial.
“Kalau di kelas mobil konvensional kita akan terjerat aturan World Trade Organization (WTO),” kata dia, Selasa (10/2).
Dasep menyebutkan keterikatan kita dengan WTO menyebabkan tak boleh adanya proteksi bagi mobil nasional. Padahal, kata dia, untuk rintisan awal dalam memulai mobil nasional tetap diperlukan langkah perlindungan oleh negara.
Dia mengusulkan pada pemerintah ketika ingin membangun mobil nasional lebih baik fokus pada mobil listrik. Dengan fokus pada mobil listrik, kata dia, pemerintah masih bisa melakukan proteksi.
Dasep menyebutkan hal itu bisa dilakukan karena mobil listrik bukan termasuk komoditi yang diatur dalam WTO. Selain itu, kata dia, mobil listrik masih sedikit perusahaan yang bermain di kelas ini. “Jadi peluang secara bisnis lebih menguntungkan,” ujarnya.
Kabar soal pengembangan mobil nasional memang tengah ramai dibicarakan. Berita mengenai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan mobil Malaysia Proton dengan perusahaan otomotif Indonesia PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL) di Shah Alam, Malaysia pada pekan lalu menjadi pemicunya.
Disebut-sebut penandatanganan tersebut dalam rangka menggarap mobil nasional. Kabar itu kemudian dibantah Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keduanya mengklaim kesepakatan itu merupakan perjanjian bisnis yang tidak melibatkan pemerintah alias bussines to bussines.