REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 mempertegas batas antara organisasi-organisasi yang dituding anti-Pancasila dan pendukungnya.
Salah satu yang mendapatkan sorotan adalah sekte Saksi-Saksi Yehuwa (SSY). Sejak pekan lalu, misalnya, seorang pengamat politik sekaligus komisaris BUMN menyarankan agar pemerintah tidak hanya membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melainkan juga SSY.
Dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Kamis (27/7), pihak SSY Indonesia membantah tuduhan anti-Pancasila. Salah satu sekte agama Nasrani ini menegaskan, keberadaan SSY diakui secara hukum di Indonesia. Sampai kini, ada sekitar 26 ribu pemeluk Saksi Yehuwa di Indonesia.
Di antara kegiatannya adalah sidang jemaat yang terbuka untuk umum dan berlangsung setiap Ahad. SSY Indonesia mengakui kerap menawarkan Alkitab gratis kepada umum. Namun, pihaknya menolak tudingan memengaruhi atau memberikan iming-iming kepada orang agar memeluk agama tertentu.
Tentu saja, kami menghormati hak orang lain untuk memeluk agama mereka sendiri, dan kami tidak memaksa orang lain menerima berita (ajaran Red) kami. Pelayanan rohani Saksi-Saksi Yehuwa tidak bersifat menekan atau memaksa sewaktu menceritakan tentang kepercayaan mereka. Demikian kutipan pernyataan resmi SSY Indonesia, Kamis (27/7).
Lebih lanjut, SSY Indonesia menegaskan sikap netral terhadap urusan politik. Karena berfokus pada urusan dakwah Nasrani, pihaknya mengakui kewenangan pemerintah, termasuk dalam soal Perppu 2/2017.
SSY Indonesia menyebut setiap kegiatannya tidak pernah mengenai upaya lobi politik, rencana makar, dan/atau pemberontakan yang melawan hukum. "Kami dikenal di banyak negeri sebagai warga negara teladan yang cinta damai yang sama sekali tidak perlu ditakuti pemerintah," ujar SSY.
Sekte ini juga membantah tudingan sebagai pemicu keresahan sosial. Sebaliknya, pihak SSY Indonesia mengklaim, praktik-praktiknya di tengah masyarakat meliputi bantuan-bantuan kepada pelbagai kalangan, baik Nasrani maupun non-Nasrani.