REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi ketentuan penahanan yang terdapat dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Gugatan diajukan oleh seorang warga negara Indonesia bernama Zain Amru Ritonga.
Zain adalah advokat yang mengajukan uji materi Pasal 193 ayat 2 KUHAP, yang mendasari penahanan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). "Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (27/7).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebutkan, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada kerugian konstitusional yang dia alami akibat berlakunya norma pasal yang dimohonkan. Selain itu, Mahkamah juga berpendapat, bahwa penahanan dalam perkara pidana terhadap seorang terdakwa yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan tingkat pertama dapat dilakukan.
"Hal tersebut karena dikhawatirkan terdakwa akan melarikan diri meskipun putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.
Tindakan penahanan, menurut MK adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan individu. Namun, pembatasan yang dimaksud berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Menurut MK, hal itu guna memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan ketertiban umum dalam masyarakat, termasuk dalam kasus yang dialami Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Dengan demikian pasal a quo secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami pemohon," kata Hakim Konstitusi, Palguna.