Kamis 27 Jul 2017 21:18 WIB

Kemenkominfo: Ada 55 Kanal Teroris di Telegram

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
aplikasi telegram
Foto: mashable
aplikasi telegram

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Pemblokiran Telegram oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sempat menimbulkan polemik di dunia maya. Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Direktorat Keamanan Informasi Kemenkominfo, Teguh Arifiyadi mengaku, keputusan pemblokiran Telegram itu memunculkan kontroversi hingga disorot media. Meski begitu, Teguh menganggap, keputusan pemblokiran itu sudah tepat lantaran Telegram versi laman itu selama ini digunakan para teroris sebagai alat komunikasi yang isinya membahas tentang jihad versi mereka.

"Kami sudah berkirim surat sejak 377 hari lalu, tepatnya 11 Maret 2016, kami kirim surat ke Telegram tidak dijawab-jawab. Akhirnya setelah diblokir Alhamdulillah dijawab. Sekarang komunikasi sudah bagus. Ke depan kami akan duduk bersama dengan pemiliknya," ujar Teguh dalam seminar 'Perkawinan Terorisme dan Cyber' di Perbanas Institute, Jakarta Selatan, Kamis (27/7).

Menurut Teguh, keputusan pemblokiran Telegram itu sempat dipertanyakan Menkominfo Rudiantara. Namun, Teguh bersikukuh berdasarkan penelusurannya dan rekan-rekannya menemukan saluran komunikasi para terosime di Telegram. Teguh mencatat ada 55 kanal teroris yang menggunakan Telegram. Dia juga ikut channel Telegram yang diikuti Bahrun Naim dan jaringannya. Dia menambahkan, para teroris menggunakan Telegram versi laman karena bisa bertukar data tanpa dikompres sampai 1,5 gigabyte.

Teguh mengungkapkan, obrolan para anggota di kanal teroris itu terkait dengan pengajaran secara spesifik bagaimana membuat bom, cara menyerang, hingga target siapa saja yang hendak menjadi sasaran. Misalnya, ada anggota Badan Nasional Penanggulanan Terosisme (BNPT) dan Brimob yang menjadi target termuat data detail mulai alamat rumahnya hingga anaknya.

Teguh juga mengaku sempat mendapat ancaman untuk dibunuh dari para teroris. Bahkan, pesan yang dikirimkan kepadanya itu tak pernah diberitahukan ke istrinya demi keamanan keluarganya."Saya print buktinya lima kanal hampir 4.000 halaman, saya serahkan ke Pak Menteri. Di situ, teman-teman yang tersesat membicarakan tentang taghut dan lain-lain," ujarnya. 

Teguh mengakui, pemblokiran Telegram sebenarnya tidak efektif untuk mencegah teroris bertindak sesuai rencananya. Dia mengungkapkan, keputusan itu diambil lebih untuk menghambat komunikasi para teroris. Menurut dia, satu-satunya cara untuk menghentikan mereka berbuat teror adalah dengan menyadarkan dan mengetuk hatinya agar kembali ke jalan yang benar. 

"Kalau saya boleh memilih tidak blokir. Kalau pikiran pengguna, dasarnya sudah mesum ya mesum. Kalau dasarnya radikal pasti akan ketemu jalannya." ujarnya.

Teguh menyatakan, pemerintah sebenarnya ingin menghindari tindakan otoriter yang serba main tutup aplikasi media sosial (medsos). Dia mengatakan, banyak sekali permintaan dari masyarakat kepada Kemenkominfo untuk menutup akun medsos Jonru maupun Danny Siregar.

Namun, langkah itu tidak bisa dipenuhinya lantaran nanti bakal muncul akun lain yang serupa. "Media sosial butuh keseimbangan. Kalau kita mengatur terlalu detail nanti apa bedanya kita dengan negara otoriter? Kalau dimatikan, nanti buka baru," kata Teguh.

Rektor Perbanas Institute Marsudi Wahyu Kisworo mengatakan, saat ini perkembangan teknologi sudah sedemikian pesat hingga kadang dimanfaatkan untuk perbuatan tidak baik, salah satunya dipakai untuk meneror. Menurut dia, tersedianya teknologi terkini, seperti dark web membuat pemerintah harus bergerak memantau arus perkembangan bawah tanah di dunia maya. 

Karena kalau pemerintah tidak ketat dalam melakukan pengawasan, sambung dia, nanti bakal muncul perkawinan kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement