REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harun Husein*)
Apartheid telah runtuh, dan orang mengenang Mandela sebagai pahlawan. Tembok Berlin pun telah runtuh, dan orang mendendangkan Wind of Change karya grup musik asal Jerman, Scorpion. Tapi, setelah keduanya runtuh, ideologi apartheid tak serta merta hilang, begitu pun dengan pembangunan tembok segregasi. Bahkan, bentuk hybrid-nya yang jauh lebih bengis telah muncul, dan diterapkan Zionis Israel di Tanah Palestina.
Israel mempraktikkan politik yang mirip apartheid, karena memisahkan orang-orang Yahudi dari orang-orang Arab yang merupakan pemilik sah tanah itu. Tapi, Israel lebih jauh lagi dibanding yang dilakukan oleh rezim kulit putih Afrika Selatan.
Sebab, Israel membangun tembok pemisah yang tegas untuk memisahkan orang-orang Israel dengan tetangga Arab-nya. Membuat orang-orang Arab-Palestina bak tinggal di ghetto-ghetto yang dulu dibangun Nazi untuk orang Yahudi di Eropa.
Panjang tembok apartheid yang direncanakan dibangun Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah 760 kilometer. Sepanjang 700 kilometer dibangun di Tepi Barat —termasuk Yerusalem Timur— dan 60 kilometer di Jalur Gaza. Ditambah 10 kilo meter tembok yang dibangun Mesir, untuk memblok Gaza dari Mesir —atas bantuan AS, induk semang Israel— maka total panjang tembok itu adalah 770 kilometer.
Sekarang, mari kita bandingkan panjang tembok yang dibangun Israel dengan Tembok Berlin yang dulu memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Ternyata, tembok itu tak ada apa-apa nya. Sebab, panjang Tembok Berlin hanya 155 kilometer. Tembok Apartheid-Israel lima kali lebih panjang dibanding Tembok Berlin. Tembok di Tepi Barat itu mulai dibangun pada 2002 lalu. Dan, pada 2012 lalu, atau sepuluh tahun kemudian, panjang nya sudah mencapai 439,7 kilometer (62 persen), atau rata-rata 43 kilometer tem bok yang dibangun setiap tahun. Pada 2012 lalu, 56,6 kilometer sedang dibangun, dan 211,7 ki lometer lainnya sedang dalam perencanaan.
Sedangkan, tembok yang dibangun Israel di Gaza, dibangun lebih awal, yaitu sejak 1994. Hanya dalam waktu dua tahun, 60 kilometer tersebut telah berdiri di antara perbatasan Gaza dengan Israel. Pada 2005, seiring penarikan pasukan Israel dan pemukim Israel dari Gaza, tembok di perbatasan Gaza-Mesir juga dibangun, sehingga sempurnalah Gaza terkepung.
Pembangunan tembok di perbatasan Rafah ini terwujud setelah AS membantu Mesir membangunnya. Akademisi, aktivis, relawan kemanusiaan PBB, dan berbagai kalangan lainnya di Timur maupun Barat —termasuk di Ame rika Serikat— kerap menyebut tembok-tembok yang dibangun Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza tersebut sebagai “Tembok Apartheid”.
Tembok Tepi Barat, maupun Tembok Gaza, merupakan bentuk paling tegas dari praktik apartheid ala Israel, setelah sebelumnya Israel memisahkan warga Israel dan warga Arab. Bahkan, di Israel, ada jalan untuk orang Yahudi, dan ada jalan untuk orang Arab. Analogi Israel dengan Apartheid itu, muncul berbilang dekade silam.
Istilah itu disampaikan justru oleh arsitek apartheid Afrika Selatan, Hendrik Verwoerd. Kala itu, pada 1961, Verwoed yang menjabat perdana menteri Afrika Selatan, mengecam Israel di PBB. Pasalnya, di sidang PBB, Israel memberikan suara menentang politik apartheid.
“Israel tidak konsisten dengan sikap nya… Mereka mengambil Israel (Palestina, Red) dari orang Arab setelah orang Arab hidup di sana ribuan tahun. Dalam soal itu, saya setuju dengan mereka. Israel, seperti halnya Afrika Selatan, adalah sebuah Negara apartheid.” katanya seperti dikutip artikel bertajuk Israel and the Apartheid Analogy di laman Wikipedia.
Sejak pernyataan Verwoed itulah, banyak sumber yang kemudian menggunakan analogi apartheid dalam penelitian mereka tentang konflik Israel Palestina. Tembok pemisah tersebut merupakan gambaran paling lengkap dari politik apartheid Israel.
Bantustan-Palestina
Jauh sebelum pembangunan tembok tersebut, Israel menawarkan proposal untuk memberi otonomi kepada Palestina. Dan, lewat Kesepakatan Oslo, pemerintahan terbatas (Otoritas Palestina) tersebut akhirnya diwujudkan. Di wilayah yang dikelola Otoritas Palestina tersebut, Israel membuat berbagai sistem perizinan dan dan pos-pos pemeriksaan (checkpoint).
Namun, otonomi yang diberikan kepada Palestina tersebut, kemudian mengingatkan banyak orang pada kawasan serupa yang pernah diterapkan rezim apartheid di Afrika Selatan dan Namibia, yaitu Bantustan. Bantustan yang merupakan bagian dari kebijakan apartheid ini adalah sebuah teritori yang dikhususkan untuk orang kulit hitam.