REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshidiqie mengatakan lebih memilih presidential threshold 10 persen. Karena, presidential threshold jika besar merusak kebebasan demokrasi, jika kecil makin mempersulit konsolidasi.
"Kalau menurut saya 10 persen itu cukup. Biarlah itu calon presiden itu banyak, sebanyak-banyaknya kan lima atau enam itu kan tidak mengganggu. Jadi dari awal tidak tegang," kata Jimly saat ditemui di Gedung Nusantara IV DPR MPR RI, Ahad (30/7).
Menurut dia, jumlah Capres yang akan datang sebaiknya tidak hanya dua. "Kalau sejak awal sudah dua kelompok, bahaya. Saya tidak setuju kalau nol persen. Tapi kalau 20 persen dengan asumsi sudah pernah terjadi ya wajar, karena kan ada perubahan. Maka memang lebih baik, ada kompromi, ya 10 persen," ujar dia.
Ia mengatakan, keputusan MK soal presidential threshold (PT) 20 persen sudah ada beberapa kali, termasuk di zaman ketika ia menjabat sebagai Ketua MK. "PT itu sudah kita tentukan tidak menyangkut konstitusionalitas. Itu masuk wilayah legal policy yang terbuka," ujarnya.
Jimly mengatakan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah isi UU Pemilu 2017. "Tapi kalau sudah diputuskan, semua pihak harus hormati. Karena menghormati keputusan resmi, merupakan cara sesuai dengan mekanisme bernegara," ujarnya.
Meski demikian, Jimly menghormati upaya hukum yang dilakukan untuk menggugat UU Pemilu ke MK.
"Karena sekarang ini tidak bisa menghindar dari ketegangan politik. Pertama pasca Pilpres 2014, kedua sampai terakhir ini sesudah Pilkada DKI 2017. Itu ketegangan antarkelompok-kelompok berbangsa kita ini makin rumit, maka semua keputusan-keputusan yang berkenaan dengan politik, itu selalu nuansanya terkait dengan ketegangan itu," jelas dia.