REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah pendirian Republik Sosialis Vietnam pada 1976, sekitar 55 ribu Muslim Cham berpindah ke Malaysia. Sebanyak 1.750 Muslim Cham juga diterima sebagai imigran di Yaman dan berdiam di Ta'izz.
Pada 1981, warga asing yang datang ke Vietnam masih dibolehkan berinteraksi dengan Muslim asli Vietnam dan shalat bersama mereka. Dalam sebuah catatan pada 1985, Ho Chi Minh digambarkan sebagai kota komunitas Muslim yang turut menambah keragaman etnis. Selain warga Cham, di sana juga terdapat warga etnis Indonesia, Melayu, Pakistan, Yaman, Oman, dan Afrika Utara. Jumlah mereka sekitar 10 ribu orang saat itu.
Meski begitu, Muslim Vietnam tetap terisolasi dari dunia Islam. Ditambah kurangnya fasilitas pendidikan Islam, praktik Islam di Vietnam pun berlangsung secara sinkretis. Masjid terbesar di Vietnam sendiri baru dibuka pada Januari 2006 di Provinsi Xuan Loc Dong Nai, yang biaya pembangunannya dari Arab Saudi.
Kantor Internasional Champa Organisasi Advokasi Champ (OIC-Champa) dan aktivis Muslim Champa Khaleelah Porome menyata kan, baik Muslim maupun Hindu Cham meng alami persekusi agama dan etnis serta pembatasan pelaksanaan kegiatan agama di bawah pemerintahan Vietnam.
Pada 2010 dan 2013, terjadi beberapa insi den yang menewaskan warga Cham oleh warga Vietnam di Desa Thanh Tin dan Phuoc Nhon. Pada 2012, Kepolisian Vietnam di Desa Chau Giang menggerebek Masjid Cham dan meng ambil generator listrik di sana. Muslim Cham di Delta Mekong juga termarginalisasi secara ekonomi.
Berangkat dari keadaan itu, tokoh Cham, Suleiman Idres Bin menyerukan pembebasan Champa dari Vietnam dan meminta advokasi komunitas internasional. Mereka meminta intervensi yang sama oleh PBB, seperti pernah yang dilakukan terhadap Timor Timur.