REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Mariana Dangu (30 tahun) resmi ditetapkan sebagai tersangka pelaku penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri, Baby J. Wanita asal Sumba, Nusa Tenggara Timur tersebut mengaku merekam aksi bejatnya untuk memeras ayah kandung Baby J, Otmar Daniel Adelsberger yang berkebangsaan Austria dan berprofesi sebagai pelatih ski.
"Pelaku memberi keterangan bahwa dia ingin ayah biologis Baby J mengetahui perbuatannya dan mengirimkan sejumlah uang," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali, Kombes Pol Sang Made Mahendra Jaya dijumpai Republika.co.id di Mapolda Bali, Senin (31/7).
Tempat kejadian perkara (TKP) Mariana melakukan aksi bejatnya berada di sebuah rumah kos yang beralamat di Jalan Drupadi, Seminyak, Badung. Ibu kandung Baby J, kata Mahendra Jaya, sejauh ini dinyatakan sehat atau tidak depresi.
Mariana dan Otmer bukan pasangan suami istri yang terikat pernikahan resmi. Keduanya berhubungan di luar nikah dan memiliki anak pada 17 Agustus 2016 yang kemudian diberi nama Jack Bani alias Baby J.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar sebelumnya merekomendasikan Mariana memperoleh hak asuh anaknya kembali pada 27 Juli 2017. Video penganiayaan yang dilakukannya pada Baby J menjadi viral tiga hari kemudian, sehingga Dinas Sosial Provinsi Bali dan Yayasan Metta Mama & Maggha menahan rencana tersebut.
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lansia di Dinas Sosial Provinsi Bali, Ida Ayu Ketut Angraeni mengatakan pihaknya pada 16 Juni mendapat surat dari P2TP2A untuk pengambilan Baby J, disusul surat berikutnya tertanggal 12 Juli. Baby J rencananya akan dikembalikan ke ibu kandungnya pada 27 Juli 2017.
"Setelah kami kaji, kami belum mengizinkan sebab belum ada bukti kesehatan terkait ibu biologisnya, MD," kata Anggraeni.
Anggraeni mengatakan dinas sosial tidak bermaksud menjauhkan Baby J dari ibu kandungnya. Pemerintah hanya berusaha memenuhi hak-hak Baby J sesuai undang-undang, yaitu hak tumbuh kembang dengan baik, dan hak mendapat perlindungan.
Ada dua syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, ada pernyataan tegas dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Bali atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa mereka menjamin tidak akan terjadi tindakan serupa. Kedua, tes ulang kesehatan jiwa dari psikiater independen.