REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Deputi Bidang Klimatologi BMKG Mulyono R Prabowo mengatakan kejadian iklim ekstrem yang terjadi pada dekade terakhir ini telah menimbulkan kerugian di berbagai sektor termasuk pertanian.
"Di masa lalu, proses benih yang baik, persiapan lahan yang tepat, pemupukan, irigasi dan budidaya yang baik, cukup bagi petani untuk memaksimalkan produksi tanaman mereka," kata Mulyono pada penutupan Sekolah Lapang Iklim di Kabupaten Minahasa, Selasa (1/8).
Petani, lanjut dia, dapat mempersiapkan luas lahan dan benih namun satu hal yang tidak bisa diatur yaitu iklim dan cuaca. Karena itu, petani perlu mengetahui bagaimana menangani variabilitas iklim yang mempengaruhi produktivitas tanaman mereka.
Menurut dia, kondisi iklim yang sangat beragam, variabilitas dan anomalinya membuat iklim Indonesia semakin sulit diduga perilakunya. "Seperti yang kita alami pada dua tahun lalu, di mana sebagian besar Indonesia mengalami kekeringan dan musim kemarau yang panjang atau curah hujan yang berkurang sebagai dampak adanya fenomena El Nino," ujarnya.
Dari sisi ekonomi nasional, fenomena El Nino mengakibatkan dampak kerugian sebesar Rp221 triliun akibat kebakaran hutan.
Tidak berhenti sampai di situ, kata dia, setelah fenomena El Nino berlanjut dengan fenomena La Nina yang menyebabkan Indonesia menjadi lebih basah dari biasanya. "Adaptasi terhadap perubahan iklim akan berhasil jika pemahaman masyarakat mengenai cuaca dan iklim sudah diaplikasikan," ujarnya.
Dia berharap penyimpangan atau anomali iklim yang sangat mungkin berulang kembali pada tahun dan musim-musim mendatang menuntut kesiapsiagaan. "BMKG akan menyediakan informasi peringatan dini iklim ekstrem, sementara petugas lapang dan penyuluh pertanian yang langsung bersentuhan dengan masyarakat petani dapat membantu menyebarluaskan informasi itu," harapnya.