REPUBLIKA.CO.ID, Semua anak Indonesia sudah seharusnya mendapatkan haknya untuk sekolah, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Karena itu,sekolah atau madrasah harus membuka hati untuk mendidik anak inklusi tersebut, serta tidak membeda-bedakan mereka dengan anak normal lainnya.
Seperti halnya yang dilakukan Madrasah Tsanawiyah Negeri(MTsN) 19 Jakarta. Sejak 2015 silam, madrasah tingkat menengah ini sudah mulai merintis program pendidikan inklusif. Program ini dilaksanakan untuk menumbuhkan sikap kebersamaan dalam mengharagai perbedaan.
Selasa (1/8), Republika.co.id mencoba mengujungi madrasah ini yanglokasinya berada di Jalan Pinang Kalijati, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Saat aktivitas belajar mengajar berlangsung, tampak siswa inklusi disekolah ini berbaur dengan siswa lainnya. Namun, setelah belajar dengan anak-anak lainnya, mereka akan diberikan bimbingan khusus oleh guru.
Setidaknya ada enam siswa inklusif yang belajar di madrasahini, tiga siswa tunanetra, dua siswa cacat fisik, dan seorang siswa yang kurang mental. Kepala Sekolah MTsN 19 Jakarta, Retno Dewi Utami (50) mengatakan, pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolahnya bermula saat para orang tua anak berkebutuhan khusus itu bersikeras untuk menyekolahkan anaknya seperti anak normal lainnya.
"Jadi kan awalnya ada orang tua anak-anak itu yang inginanaknya diperlakukan seperti anak normal. Jadi, sekolah itu kan terbatas, tidak semuanya juga bisa menerima seperti itu. Jadi, awalnya mereka ingin bergaul seperti anak-anak normal," ujar Retno saat ditemui di MTsN 19 Jakarta.
Kemudian, lanjut dia, pihaknya pun mempersilahkan anak-anak tersebut untuk mengikuti test masuk dan wawancara. Ternyata, kata dia, anak-anak tersebut memenuhi persyaratan tes masuk seperti anak normal lainnya. Kemudian ketika dia masuk, malah dia rangkingnya bagus. "Jadi, dari misalnya ada sekitar 500 sampai 600 anak dia malah masuk rangking teratas dan bisa bersaing dengan anak normal," ucapnya.
Menurut dia, pada angkatan pertama program ini hanya dua anak yang mendaftar, yaitu Kenichi Satrai Kaffah (14 tahun) dan Ainun Nushra AtillaAl Falah (14). Keduanya pun mampu bersaing dengan anak normal lainnya. Bahkan,menurut Retno, saat itu, Kenichi mampu meraih peringkat kedua di kelasnya dari jumlah 25 siswa.
Dengan keterbatasan pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus, menurut Retno, awalnya para guru hanya membacakan soal-soal ujian dan kemudian dijawab secara lisan oleh anak tersebut. Namun, setelah pelajaran mereka semakin banyak, akhirnya pihaknya memberikan bahan ajaran brielle.
"Kemudian kita berikan brielle untuk mereka. Jadi guru-guru kita kursus brielle, kita panggil guru brielle. Jadi beberapa guru di sini sudah bisa menerjemahkan buku bacaan, menerjemahkan soal-soal brielle, dann anti kita periksa," kata Retno.
Sebagai kepala sekolah, Retno merasa sangat senang dan menerima dengan baik anak-anak inklusi tersebut. Bahkan, menurut Retno, para guru kini juga sudah semakin memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka. Setelah menerangkan pelajaran, para guru akan memberikan pendampingan khusus lagi kepada anak-anak tersebut.
"Misalnya begini, kan matematika semua diajarkan di kelasyang sama. Nah pasti kan daya tangkapnya berbeda, misalnya kan yang tunanetratidak melihat. Kemudian biasanya setelah itu, dia nanti diberi perlakukan khusus kayak private gitu," ujarnya.