REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama mengakui masih menemukan praktik pungutan liar (pungli) di satuan kerjanya. Kemenag mempersilakan masyarakat melapor bila menemukan hal itu dan mekanisme internal pun terus dijalankan.
Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki HS menjelaskan, di layanan haji, yang rawan pada pengurusan visa. Jamaah tidak lagi dipungut biaya sebab biaya pengurusan visa yang besarnya Rp 750 ribu per orang diambil dari dari Dana Nilai Manfaat dalam komponen biaya tidak langsung (indirect cost).
''Kalau ada yang meminta biaya visa, itu pungli. Silakan dilaporkan," kata Mastuki kepada Republika.co.id, Rabu (2/8).
Kemenag sudah mewanti-wanti kepada jamaah bahwa tidak ada biaya tambahan setelah setoran BPIH. Kalau ada pungutan, maka silakan saja dilaporkan.
Di layanan lain, lanjut Matuki, Kemenag masih juga mendengar adanya pungutan seperti di komite madrasah. Mereka menarik dana publik, di luar yang ditetapkan kepala madrasah. Tapi ada peraturan Menteri Agama yang mengatur apa saja yang boleh dipungut di luar dana BOS.
Saber Pungli juga terus disosialisasikan ke semua satuan kerja. Di KUA, modus pungli biasanya untuk biaya nikah di dalam kantor. Padahal nikah di dalam kantor KUA gratis, sementara di luar kantor KUA memang harus membayar Rp 600 ribu via bank sebagai PNBP.
Kemenag sempat menerima beberapa aduan perbedaan biaya untuk WNI yang menikahi WNA. Biaya nikah jadi Rp 1 juta karena belum ada aturan yang menyebutkan soal itu.
''Kami tegaskan tidak boleh. Rp 600 itu untuk WNI dan WNA,'' kata Mastuki.
Bila ketahuan, mekanisme internal berjalan dimana Inspektorat Jenderal Kemenag akan langsung menindak. Sepanjang 2016, Kemenag menerima 87 laporan pungli. 11 di antaranya terbukti benar dan pelaku disanksi. Sementara 76 laporan sisanya tidak terbukti.
Mastuki menilai itu berarti praktik pungli makin rendah. ''Sebab Itjen melakukan tindakan preventif cukup kencang,'' kata Mastuki.