Kamis 03 Aug 2017 20:18 WIB

Ketimpangan Akses Perumahan di Jakarta Dinilai Semakin Parah

Perumahan (ilustrasi)
Foto: Antara
Perumahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan akan tempat tinggal terutama rumah susun di Jakarta semakin tinggi. Namun tidak sebanding dengan ketersediaan rusun. Karena itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, perlu terobosan nyata agar backlog bisa ditekan. Opsi yang bisa dipilih, pemerintah menyediakan land bank yang relatif masih tidak terlalu jauh dari perkotaan, untuk kemudian dibangun oleh swasta.

"Land bank ini sebenarnya banyak dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemda. Di sisi lain, sebenarnya, sudah ada aturan jika swasta bangun rumah mewah, maka wajib juga membangun rumah subsidi, masalahnya pengusaha properti seringkali membangun justru di tempat lain. Ini terjadi karena tidak ada sanksi tegas," ujar Bhima dalam keterangannya, Selasa (1/8).

Ia berpendapat, pemerintah bisa meniru Singapura di mana pemerintah dan swasta berkolaborasi. Lahan disediakan, sudah dibebaskan pemerintah, sehingga swasta lebih leluasa membangun.

Urusan tanah, kata Bhima, selama ini memang jadi kendala utama pengembang karena rumitnya pembebasan, belum lagi izin konstruksi yang lama. Izin konstruksi di Jakarta saja lebih lama di banding daerah seperti Manado dan Makassar.

"Jadi memang izin di pusat saja lama. Padahal backlog di Jabodetabek paling parah. Selama ada skema land bank, mestinya banyak swasta tertarik," ujar Bhima.

Untuk itu, skema land bank, dalam jangka pendek bisa dipilih agar makin banyak swasta masuk membangun rumah subsidi. Selama ini insentif untuk pengembang masih relatif kecil. Pemerintah bisa mengeluarkan paket kebijakan lagi khusus pembangunan rumah murah, kalau dirasa kurang bisa diberi tax allowance. 

Dari sisi komponen pembangunan rumah, dari riset Indef, faktor lahan masih menjadi komponen utama pembentuk biaya. Jangan heran jika kemudian pengembang lebih senang membangun rumah kategori mewah ketimbang rumah murah subsidi karena komponen bahan bangunan juga sama.

"Memang nomor satu lahan. Komponen biaya paling tinggi. Dari sisi harga bahan bangunan, relatif sama," ucapnya.  

Di sisi lain, pemerintah pun, dalam meminimalkan backlog, bisa melihat berbagai terobosan-terobosan inovatif di sektor properti. Tidak bergantung pada skema konvensional alias bahan bangunan biasa dalam membangun rumah, terutama rumah subsidi.

Pasalnya, ada banyak model teknologi baru yang bisa diadopsi, seperti rumah kayu dengan teknologi tinggi, tahan gempa, anti air, mampu menyerap cahaya sehingga lebih hemat energi dan dari sisi harga jauh lebih murah. Solusi yang tepat dan memadai tidak hanya mencakup penyediaan sejumlah rumah berkualitas terjangkau, namun juga keberlanjutan jangka panjang dengan cara yang ramah lingkungan.

"Model model inovatif, saya setuju diterapkan. Tentu harapannya, model inovasi itu bisa juga diproduksi dalam negeri sehingga ketika kebutuhan tinggi tidak bergantung impor. Teknologi itu bisa diadopsi dari hulu ke hilir, tidak hanya rancang bangun tapi material juga. Tentu yang efisien dan terjangkau," ujar Bhima.

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pernah mengatakan, warga yang terdata minta unit di rumah susun sudah hampir 11 ribu. Sedangkan unit yang tersedia yang kosong ada sekitar 1.500. Jelas, ada kesenjangan tinggi antara permintaan dan pasokan.

Sejatinya, permasalahan ketimpangan akses perumahan saat ini tengah menjadi tantangan serius di berbagai belahan dunia. Indonesia pun tak luput dari masalah itu. Penyebabnya, masyarakat tak mampu membeli lantaran harganya sudah terlalu tinggi.  Pemerintah pernah melansir, mayoritas penduduk Indonesia dengan segmen menengah bawah hanya mampu untuk melakukan cicilan rumah sebesar Rp 500 ribu per bulannya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement