REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menilai, para politikus Indonesia perlu belajar secara lebih baik tentang logika berpikir. Terlebih, setelah politikus Gerindra Arief Poyuono secara serampangan cenderung menyamakan PDIP dan PKI. Kemudian disusul politikus Nasdem Viktor Laiskodat yang menyamakan partai-partai penolak Perppu 2 tahun 2017 tentang Ormas sebagai pendukung ide khilafah.
"Para politikus tampaknya perlu belajar secara lebih baik tentang logika berpikir. Cukup sering, politikus melakukan lompatan logika demi mendapatkan dukungan terutama dari kalangan awam," kata Arif saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (5/8).
Arif kemudian mengungkapkan, apa yang dilakukan kedua politikus tersebut dapat digolongkan sebagai sofisme. Yaitu, kekeliruan berpikir yang dilakukan untuk mempedaya orang lain. Arif juga menilai, penalaran yang mereka lakukan keliru, kendati tampak seolah benar.
"Seandainya PKI anti-kritik, tidak berarti semua yang menolak kritik sama dengan PKI. Demikian pula jika pendukung khilafah itu menolak Perppu 2 tahun 2017, tidak lantas berarti setiap penolak Perppu adalah pendukung khilafah," tambah Arif.
Sebelumnya, politikus Gerindra, Arief Poyuono menyebut wajar jika PDI Perjuangan disamakan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena anti kritik. Atas pernyataannya tersebut, Arief dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Organisasi sayap PDI Perjuangan, Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM).
Tak lama setelah itu, politikus Nasdem Viktor Bungtilu Laiskodat dilaporkan ke polisi oleh PAN dan Gerindra atas pidatonya di NTT. Pidato Viktor dianggap provokatif dan tendensius serta menyebut Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat sebagai parpol pendukung wacana khilafah islamiyah. Itu tak lain karena keempat parpol tersebut menolak erppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (ormas).