Ahad 06 Aug 2017 18:19 WIB

Maraknya Kejahatan WNA, Konsekuensi Negara Terbuka

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Tersangka Togiman alias Toge (kiri) sindikat jaringan sindikat narkotika internasional Malaysia-Aceh dan Medan dihadirkan oleh BNN saat gelar barang bukti kasus pengiriman narkotika jenis sabu di Kantor BNN, Jakarta, Senin (22/5).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Tersangka Togiman alias Toge (kiri) sindikat jaringan sindikat narkotika internasional Malaysia-Aceh dan Medan dihadirkan oleh BNN saat gelar barang bukti kasus pengiriman narkotika jenis sabu di Kantor BNN, Jakarta, Senin (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Agung Sampurno mengatakan, tindakan kejahatan yang dilakukan oleh warga negara asing di Indonesia merupakan konsekuensi dari sebuah negara terbuka. Sebuah negara terbuka harus siap menerima orang asing yang datang.

"Kita bukan lagi negara di tahun 1930 masih dalam jaman kolonialisasi," kata Agung saat dihubungi, Ahad (6/8).

Namun, berbagai kejahatan yang melibatkan sindikat warga negara asing harus dipandang sebagai peristiwa pidana, yang tidak terkait dengan proses keimigrasian. Dia menerangkan, dalam sebuah tindak kejahatan yang dilakukan WNA dibedakan antara peristiwa keimigrasian dan peristiwa pidana. 

Peristiwa keimigrasian terkait dengan keabsahan setiap orang yang masuk ke dalam wilayah Indonesia melalui jalur resmi yakni mendapatkan visa dan ijin tinggal. "Kalau dilihat dari peristiwa kemigrasian, tidak ada yang salah. Semuanya benar. Mereka (WNA) masuk melalui pintu yang telah ditetapkan dan membawa paspor, kemudian mendapatkan visa dan ijin tinggal," kata Agung. 

Agung menerangkan ketika seorang WNA masuk ke Indonesia, dia telah melewati proses administrasi dan fisik. Artinya, imigrasi telah melakukan pemeriksaan dokumen dan surat-serta serta fisik orang yang hendak masuk ke Indonesia. 

Dia menambahkan seperti warga Indonesia, orang asing yang memiliki paspor menjadi tanda bahwa dia bukan pelaku kriminal. Sebab, saat membuat paspor, imigrasi di negara asal WNA itu sudah melakukan verifikasi di database dia bahwa bukan pelaku kriminal. "Artinya saat orang asing dikasih paspor, dia orang baik-baik," kata dia. 

Namun, dia menyatakan, kedatangan manusia ke sebuah negara selalu dibarengi tindakan. Tindakan itu bisa positif atau negatif. "Artinya beda dengan barang. Kalau kayak handphone enggak bisa melakukan tindak pidana," kata dia. 

Sebab, manusia merupakan makhluk yang sangat dinamis sehingga bisa melakukan kejahatan. Dia pun mencontohkan gembong teroris asal Malaysia yang beroperasi di Indonesia Noordin M Top. "Ketika datang ke Indonesia sebagai orang baik-baik ternyata di Indonesia membuat bom," kata dia. 

WNA yang masuk dengan cara legal kemudian melakukan tindakan kriminal ini berbeda dengan orang yang melakukan pelanggaran keimigrasian. Agung menuturkan peristiwa keimigrasian biasanya selalu diiringi dengan tindakan pidana dari si pelaku pelintas batas, baik pidana umum maupun pidana keimigrasian.

Dia menambahkan kejahatan siber atau tindak pelanggaran hukum lainnya yang sekarang ini kerap terungkap oleh kepolisian biasanya terkait dengan organisasi kejahatan internasional. Dia pun kembali menegaskan, tindakan tersebut tidak terkait dengan imigrasi.

Agung mengatakan proses keimigrasian yang melibatkan pemberian visa merupakan alat. Alat itu bisa menjadi baik namun bisa juga digunakan untuk tujuan kejahatan. 

"Jadi, sama kayak pelaku ke Novel Baswedan. Air keras tidak jahat memang digunakan untuk kegiatan lain, tetapi pas digunakan sebagai alat oleh orang jahat dan direncanakan maka ini jadi tindak pidana," kata dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement