REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti The Indonesian Institute (TII), Arfianto Purbolaksono menegaskan sudah seharusnya kiprah Panita Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diakhiri. Itu setelah, Pansus bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat. Oleh karena itu, Anto meminta agar anggota Pansus Hak Angket KPK mawas diri dengan situasi saat ini.
"Seharusnya Pansus Hak Angket dihentikan. Mengingat penolakan terhadap Pansus itu sendiri terus bermunculan. Bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari para pakar," jelas Anto saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (7/8).
Di samping itu, lanjut Anto, jika dilihat dari komposisinya, Pansus Hak Angket KPK sudah tidak ideal lagi. Hal ini setelah salah satu anggotanya, Partai Gerindra mencabut perwakilannya. Pasca ditinggal Gerindra, kini anggota Pansus Hak Angket tinggal enam partai, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PAN.
Praktis, kata Anto, anggota Pansus Hak Angket KPK yang tersisa hanyalah partai-partai pendukung pemerintah. Tentu saja masyarakat akan menilai bahwa Pansus Hak Angket KPK memiliki kepentingan politik. Apalagi alasan Partai Gerindra keluar dari Pansus karena tidak memenuhi syarat yang sesuai Tata Tertib DPR dan UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Selain itu, Anto menilai kondisi ini sedikit banyak bakal berdampak pada 2019. Memang, kata Anto, Joko Widodo masih menjadi sosok kuat di Pilpres 2019, namun dengan kehadiran Pansus Hak Angket KPK citra Joko Widodo akan terpengaruh. Apalagi selama ini, Joko Widodo sebagai presiden tidak pernah memberikan pernyataan tegas terkait Pansus tersebut.
"Sudah pasti ini akan mempengaruhi presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019. Apalagi jika isu ini digunakan oleh pesaing-pesaing Jokowi di Pilpres 2019," tutup Anto.