REPUBLIKA.CO.ID, KARAKAS -- Venezuela tampak memasuki gejolak baru setelah pasukan antipemerintah menjarah senjata selama serangan akhir pekan di sebuah pangkalan militer. Muncul frustrasi atas kepemimpinan oposisi yang tidak efektif.
Pekan lalu, instalasi sebuah badan legislatif baru yang dijalankan oleh loyalis Partai Sosialis Nicolas Maduro melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka membuat banyak orang Venezuela merasa bahwa tidak ada pilihan demokratis untuk menentang pemerintah.
Sentimen itu memicu serangan hari Ahad di sebuah pangkalan militer di dekat Kota Valencia. Serangan itu dilakukan oleh tentara dan warga sipil bersenjata, di mana pemerintah mengatakan dua orang tewas. Pihak berwenang Venezuela mengatakan bahwa mereka memburu 10 penyerang yang berhasil melarikan diri dengan membawa senjata.
Dalam rekaman video, kelompok yang terdiri lebih dari satu lusin pria dengan seragam gaya militer mengatakan bahwa mereka berusaha untuk mengembalikan tatanan konstitusional. Mereka meminta Maduro untuk minggir demi pemerintahan transisi.
Serangan tersebut telah meningkatkan momok tentang kudeta atau kekerasan serius di negara tersebut. Bahkan, sebelum serangan hari Ahad, konsolidasi kekuasaan Maduro membuat banyak pemrotes kecewa. Mereka melihat koalisi oposisi suka bertengkar dan mementingkan diri sendiri.
Lebih dari 120 orang telah terbunuh dan ditangkap dalam empat bulan kerusuhan yang gagal mencegah pemilihan bulan lalu ke majelis konstituen baru. Banyak orang garis keras merasa dikhianati saat pemimpin mereka tampak ragu pada strategi dan demonstrasi yang ditunda pekan lalu. Berbagai partai politik koalisi juga tak mau ambil bagian dalam pemilihan gubernur pada bulan Desember, terutama setelah tuduhan penipuan yang meluas dalam pemilihan majelis konstituen.
Bagi para pemuda berkerudung yang memblokir jalan dengan lembaran besi dan puing-puing, kepemimpinan oposisi yang terfragmentasi sudah merupakan sejarah. "Kita harus berhenti percaya pada koalisi oposisi. Kita hanya bisa percaya pada diri kita sendiri," kata seorang pemuda dari negara bagian Andean, Tachira, yang keluar dari universitas ke Karakas dan bergabung dalam demonstrasi tersebut,
Pria berusia 20 tahun, yang wajahnya ditutupi kaus saat ia mengacungkan bom bensin buatan sendiri, menolak menyebutkan namanya karena takut pembalasan. Jaksa penuntut umum baru, yang ditunjuk oleh majelis konstituen pada sesi pertamanya pada hari Sabtu, telah berjanji untuk menindak para demonstran.