Rabu 09 Aug 2017 18:29 WIB

Hadiri Autopsi, Ayah Joya: Sangat Pedih

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ilham Tirta
Makam Muhammad Alzahra alias Joya dipenuhi warga yang ingin menyaksikan pengotopsian jenazah. Rabu (9/8).
Foto: Republika/Dea Alvi Soraya
Makam Muhammad Alzahra alias Joya dipenuhi warga yang ingin menyaksikan pengotopsian jenazah. Rabu (9/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Jenazah Muhammad Alzahra alias Joya diautopsi pada Rabu (9/8) oleh tim penyidik Polres Metro Bekasi dan tim forensik Rumah Sakit Kramat Jati. Jenazah Joya telah dimakamkan delapan hari lalu, tepatnya pada Rabu (2/8), pukul 15.30 WIB.

Petugas yang membantu menggali kubur saat proses autopsi, Ahmad, mengatakan, kondisi jenazah Joya saat diautopsi sudah membusuk dan terdapat bagian badan yang telah hancur. "Darah banyak mengalir dari kepala, tapi tidak kental. Jenazah masih dibungkus plastik bening, tapi darah merembes ke dasar kuburan," kata Ahmad seusai membantu tim forensik mengangkat jenazah.

Ahmad menjelaskan, sejak awal dimakamkan, jenazah Joya memang terbungkus plastik di balik balutan kain kafan. Ahmad menjelaskan, kondisinya wajar untuk jenazah yang memang baru seminggu dimakamkan.

"Dari awal dimakamkan memang sudah rapi, sudah dibungkus plastik dan kain kafan. Saat itu kita hanya menguburkan saja. Tapi, saat diautopsi, kami hanya mengangkat jenazah saja, setelah itu tim forensik yang membuka kain kafan serta plastik. Kami tidak boleh melihat, setelah diangkat kami disuruh keluar," kata dia.

Untuk mengangkat jenazah, dikerahkan empat orang yang bertugas untuk mengangkat bagian atas dan bawah jenazah yang memang mulai membusuk dan mulai lunak. Saat proses autopsi selesai, jenazah kembali dimakamkan setelah kain kafan jenazah diganti dengan kain kafan baru. "Jenazah langsung dimakamkan kembali dengan kain kafan baru. Saat dikuburkan tidak menggunakan plastik, tapi plastik dan kain kafan lama dikubur kembali bersama jenazah," ujar dia.

Keluarga Muhammad Alzahra alias Joya terlihat menghadiri proses pengautopsian di TPU Kedondong, Cikarang Kota, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Rabu (9/8). Namun, istri Joya Zubaidah tidak diizinkan datang, mengingat kondisinya yang kurang stabil. Ayah kandung Joya, Asmawi, mengaku sangat terpukul dengan kematian anak sulungnya. Dia juga menanyakan alasan pelaku pengeroyokan dan pembakaran yang menewaskan anaknya.

"Sangat pedih. Negara kita negara hukum. Kenapa anak saya sampai diperlakukan seperti itu? Dengan dasar apa anak saya dibakar dan dikeroyok hingga mati," kata Asmawi.

Adik Joya, Bambang mengatakan, kakaknya adalah sosok yang pendiam dan jarang untuk berbagi keluh kesah kepada keluarga. Joya juga merupakan anak satu-satunya dari pernikahan Asmawi dan Aliya, ibu kandung Joya. Aliya meninggal saat Joya berusia 15 tahun.

Dia mengaku tidak terlalu sering bertemu dengan Joya, dan bertemu terakhir kali sekitar satu tahun lalu, saat Joya sedang mengurus pemindahan kartu keluarga (KK). "Saya adiknya tapi beda ibu. Kami enam bersaudara. Joya anak pertama, saya anak kedua," kata Bambang.

Joya awalnya bekerja sebagai kuli proyek bangunan. Namun, saat proyek habis, Joya memutuskan untuk kursus sebagai teknisi barang elektronik hingga akhirnya dapat menjalani profesi sebagai tukang servis hingga akhir usianya.

Bambang meyakini bahwa kakaknya tidak melakukan pencurian seperti yang dituduhkan polisi. Menurut dia, Joya adalah sosok kakak yang baik dan rajin beribadah, mengingat dia juga merupakan lulusan pondok pesantren. "Saya yakin dia tidak mencuri, apalagi dulu dia sempat sekolah di pondok pesantren. Dia tidak sekolah formal, hanya pesantren saja," kata Bambang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement