REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat pleno digelar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, pekan lalu. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas, dalam rapat tersebut, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas menjadi salah satu agenda bahasan.
"Hasilnya ada dua pandangan, satu kita akan fokus ke Judicial Review dan satu lagi kita akan mendesak DPR untuk menyikapi ini secara kritis di masa sidang yang akan datang," kata Busyro, kepada Republika, Rabu (9/8).
Ia menilai Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas memiliki banyak kecacatan. Terutama, secara teori dan metode yang digunakan dalam penerbitan perppu tersebut.
Dijelaskan, secara teori umum saja jika hendak membuat produk hukum atau perundang-undangan, apalagi ada keterlibatan negara, maka ada dua yang harus terpenuhi yaitu substansi dan metodenya. Busyro mengingatkan, keduanya pun harus saling mendukung dan tidak boleh bertentangan.
Pertama, subtansi yang mana sudah menjadi kesepakatan jika sumber segala hukum merupakan Pancasila. Pancasila itu, tegasnya, tentu tidak bisa dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945, terlebih dikarenakan rumusan dari Pancasila sendiri ada di dalam paragraf terakhir Pembukaan UUD 1945.
Untuk itu, jika pemerintah hendak membuat Perppu Nomor 2 Tahun 2017, tentu harus mampu dibuktikan. Terutama, apakah perppu itu memiliki kandungan ideologis di dalam Pancasila yang rumusannya ada di Pembukaan UUD 1945.
Karena, jika itu tidak bisa dibuktikan perppu tersebut cacat secara teori. "Kalau tidak maka perppu tersebut secara ideologis tandus, kering, tidak mengandung nilai-nilai Pancasila di dalamnya, cacat secara ideologis," kata Busyro.
Selanjutnya, lanjut dia, secara metode, produk-produk hukum itu kalau ingin dibuat harus memiliki tiga unsur pendekatan yaitu sosiologis, filosofis, dan yuridis. Ini jadi standar internasional. Secara ideologis, jelas Pancasila dan UUD 45, termasuk pasal-pasal yang terkait UUD 45.
Secara sosiologis, pendekatan yang digunakan harus didasarkan satu riset yang tujuannya untuk memetakan apa yang menjadi fakta konkrit dan teruji, sehingga Presiden mengeluarkan perppu itu. Artinya, harus dilihat secara konkrit apakah perppu mencerminkan situasi-situasi yang memenuhi syarat dikeluarkannya perppu.
"Terutama, syarat kegentingan memaksa, dan kegentingan memaksa itu tidak bisa ditentukan sepihak saja oleh pemerintah," ujar Busyro.
Maka itu, ia menekankan, memang harus sangat hati-hati dalam mengeluarkan produk-produk hukum karena ini menyangkut UU yang mengikat semua warga negara dan organisasi. Sayangnya, Busyro melihat hanya dari aspek pendekatan sosiologis saja, pemerintah tidak mampu memenuhinya.
Selain itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 pun tidak didasarkan kepada satu perumusan yang menggambarkan Pancasila saat itu sedang dalam posisi terancam oleh kehadiran ormas-ormas. Penjelasan pemerintah dirasa tidak membacakan ukuran yang digunakan sampai mengatakan Pancasila dianggap terancam.
"Kalau ukurannya sekadar pernyataan-pernyataan HTI atau dari aktivis-aktivis HTI, tentu sama sekali tidak relevan, harusnya diajak dialog yang intens, nah di sini pemerintah tidak pernah melakukan itu, kesimpulannya pemerintah otoriter," kata Busyro.
Busryo mengingatkan, ketika rezim bersikap otoriter maka yang terjadi kekuasaannya bersifat absolut yaitu absolutely power. Tentu, sesuai doktrin yang sudah umum saja kondisi ini memiliki potensi rezim itu korupsi kekuasaan dan mengorupsi hak-hak sipil politik masyarakat yang terampas oleh Perppu Ormas ini.
Lebih lanjut ia melihat, judicial review yang banyak terjadi disebabkan masyarakat merasa terancam. Tentu, masyarakat yang dimaksud merupakan masyarakat kritis, bukan mereka yang malah mencoba memanfaatkan situasi untuk menjilat dan mendekat pemerintah.
Banyaknya judicial review, paparnya, juga turut dianggap menujukkan masih banyak masyarakat yang menunjukkan dirinya berintegritas. Dan, sekaligus menampilkan secara pendekatan sosiologis Perppu Ormas dari pemerintah cacat. "Cacat prosedural, subtansi, dan metodologi dan kalau aspek itu cacat maka yuridis produk perppunya seperti sekarang ini," kata Busyro.
Ia juga menekankan, DPR secara pranata politik demokrasi memang perlu diperkuat secara institusi. Karenanya, dalam konsep itu PP Muhammadiyah menyikapi dengan satu kesadaran demokratis DPR sebagai lembaga demokrasi harus merespons desakan yang ada.
Busyro berpendapat, jika DPR sebagai lembaga demokrasi tidak difungsikan secara optimal, maka demokrasi yang jadi sistem negara modern akan semakin rusak. Pasalnya, lembaga kepresidenan akan semakin otoriter seperti di masa lalu.
"Pengulangan ketika Orde Baru dulu, mungkin lebih parah dan sebenarnya dalam hal-hal tertentu sudah lebih parah, indikasi Orde Baru itu secara tata kelola pemerintah yang otoriter sudah tampak seperti sekarang," ujar Busyro.
Meski begitu, ia merasa lucu melihat sikap partai politik seperti PDIP dan PPP, yang notabene merupakan korban Orde Baru dengan tidak terpisahkannya Golkar dan pemerintah kala itu.
Keduanya, malah tampak ingin membawa lagi otoriter semacam itu. "Ini anomali ideologi, krisis ideologi yang ada di kalangan parpol-parpol," katanya.